Bagian 3

89.3K 5.8K 133
                                    

"Iya besok beli. Rey mau beli di mana?"

Rio memilih menanggapi sambil mengangkat badan kecil Rey. Dia tidak tega untuk berdebat, mengingat hari sudah malam dan Rey terlihat mengantuk, terlebih lagi dengan cerita yang Rara sampaikan kalau satu hari ini sudah merajuk terus.

"Tanya Om Andra, Yah. Tadi katanya kalau mau ibu baru bisa beli," jawab Rey pelan. Kepalanya sudah menempel di bahu Rio. Suara nafas teratur juga sudah terdengar di telinga, jadi tadi Rey berbicara di ambang kesadaran.

Rio mengeram, ketika melewati Andra barulah dia berujar. "Ndra, kamu lama-lama nggak sopan ya sama saya? Urusan Vira belum beres, sekarang kamu racunin otak Rey sama ibu baru tinggal beli. Emangnya ada yang jual?"

Rara yang ada di seberang kursi melemparkan tatapan bertanya, sementara Andra hanya cengengesan. "Daripada Rey nangis terus, Bang. Kasihan," jawabnya santai.

Rio menggelangkan kepala tidak setuju, lalu matanya beralih kepada Rara. "Ra!"

"Ya, Bang?"

"Kamu ngidamnya yang lama. Cuekin aja ini Andra, nyesel Abang dulu nyari adik ipar kayak dia. Abang pulang dulu, wassalaamu'alaikum."

Rio berlalu dengan disambut kekehan Rara dan sungutan dari Andra. Lelaki itu tidak habis pikir kalau Andra yang dulu dengan mudah bisa dimanipulasi, sekarang justru semakin licik. Tatakrama sebagai senior dan kakak ipar terasa terabaikan karena dia sering mendapatkan suara serta pembelaan dari Rara atau pun Rey. Andra memang pintar cari muka, bukan?

**

Status sebagai single parent bukanlah status yang sulit bagi Rio. Semua bisa dia handle dengan sedikit bantuan dari Rara dan asisten yang membantu mengurus Rey. Masalahnya hanya ada satu, yaitu ketika Rey merajuk soal 'ibu', Rio akan langsung merasa dirinya sebagai ayah yang paling tidak berguna. Satu minggu yang lalu Rey memang mau ke sekolah lagi setelah iming-iming ibu baru yang dilakukan oleh Andra, bahkan sudah lupa dengan pembahasan tersebut. Namun tadi malam, Rey kembali merengek hanya karena kebanyakan teman-teman dijemput oleh ibunya masing-masing.

"Mas Rio, Mas Rey masih ndak mau mandi. Piye?" tanya Mbok Minah dengan sedikit aksen jawa yang masih tersisa.

Rio yang baru saja selesai mandi langsung menyampirkan handuknya di leher. "Biar saya yang bicara sama dia, Mbok."

Rio berhenti tepat di belakang sofa, tempat Rey bergulung dengan guling dan remote di tangan. Kepala Rey fokus melihat layar televisi yang menampilkan acara kartun favoritnya. Dia kesal, ingin memaksa Rey untuk segera bergegas ke sekolah, tetapi hati kecilnya melarang. Bagaimanapun juga Rey tidaklah sempurna dan ketidaksempurnaan itulah yang membuat anaknya tidak mau pergi ke sekolah. Satu hal yang belum bisa Rio penuhi hingga detik ini, kesempurnaan dalam keluarga.

"Rey, sekolah ya, Bang?" tawa Rio setelah mengambil duduk di atas kepala Rey. Dia letakkan kepala kecil itu di atas pangkuannya.

Rey menggelengkan kepala tanpa mau repot untuk membuka mulut.

"Terus kalau nggak sekolah Rey mau ngapain? Di rumah saja sama Mbok?"

Kepala kecil itu kembali menggeleng, tetapi mulutnya masih tetap tertutup rapat.

"Ya sudah, kalau begitu hari ini Rey sama Nte Rara saja, ya?"

Hening.

"Rey," panggil Rio dengan sabar.

"Rey ikut Ayah kerja, ya?" tanya Rey sambil menengadahkan kepala, menatap penuh harap kepada sang Ayah.

"Nanti Rey bosan."

"Ndak, Rey bawa mobil-mobilan."

Rio menghela nafas panjang, hal yang akhir-akhir ini sering dia lakukan. "Ya sudah, tapi nanti Rey main sama Mbok Minah di ruang tunggu, nggak boleh ganggu Ayah."

Calon IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang