Bagian 17

64.9K 5.4K 227
                                    

Vira memandang Rio dengan tidak nyaman, seperti merasakan firasat yang tidak baik.

"Kenapa, Bang?" tanyanya ketika Rio menutup telepon.

"Rey kebangun terus rewel. Kita ke rumah budhe, ya?" terang Rio sambil menyimpan ponselnya.

"Kita?"

Rio mengangguk. "Iya, kamu nggak mungkin selamanya menghindari Rey, kan? Sejak bangun kemarin dia terus nanyain kamu."

"Tap__"

"Aku nggak nerima kata tapi, kita berangkat sekarang. Kamu tega aku nyetir sambil ngurus Rey yang rewel? Ini udah malam loh, Vi! Terus nanti kalau ada yang duduk di belakang gimana? Kamu nggak takut aku digrepe-grepe sama makluk yang kakinya nggak nempel di tanah?"

Vira yang tadinya masih sedikit takut untuk bertemu dengan Rey menggelengkan kepala dengan geli. Di saat sedang serius seperti sekarang, bisa-bisanya Rio bercanda. Well, mungkin ini adalah bentuk usahanya agar dia mau bertemu dengan Rey. Akhirnya dia mengangguk setuju untuk ikut serta. Benar kata Rio, tidak mungkin baginya untuk terus menghindar. Bagaimanapun juga, mereka adalah keluarga yang mau tidak mau akan berinteraksi satu sama lain. Jadi, hal yang bisa dilakukan adalah belajar berdamai dengan kejadian kemarin.

Vira dan Rio sampai di rumah Budhe Rila yang sepi. Tidak ada suara tangisan Rey, yang ada hanyalah suara hewan malam sedang bersautan. Hal itu langsung membuat keduanya menghela napas.

"Kayaknya udah tidur," bisik Vira ketika mereka sampai di depan pintu.

Mereka belum sempat mengetuk ketika tiba-tiba pintu itu terbuka. Tampaklah Toro yang sedang menggendong Rey dengan tangan kiri.

"Assalaamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalaam. Ssstttt, ambil Rey-nya. Ini tangan udah mati rasa," jawab Toro sambil terus menimang Rey.

Vira yang melihat hal tersebut langsung tersenyum. "Udah cocok jadi bapak kayaknya, Ro! Gih, buruan nikah."

"Gilaaaa!" kata Toro sambil menghempaskan badan ke sofa setelah Rio mengambil alih Rey. Dia berulang kali menggerakkan tangannya yang seperti mati rasa. Matanya langsung melotot ketika melihat Rio dengan santainya membawa Rey duduk dan memangkunya.

What? Jadi, cukup dipangku juga diam?

Toro menggelengkan kepala tidak percaya. Baik dalam keadaan bangun atau pun tidur, Rey memang paling jago membuatnya speechless. Dia benar-benar bungkam, tidak tahu harus berkomentar apa mengenai hal ini.

"Kenapa nggak bilang kalau dipangku aja udah diam? Dari tadi tiap mau ditaruh di kasur dia terbangun terus nangis. Fuhh, mau minta gantiin Mama sama Papa kasihan. Si Gembil ini kan nggak enteng," gerutu Toro dengan kesal.

"Kenapa nggak nanya?" tanya Vira yang kini sudah duduk di sampingnya.

"Abisnya tadi Rio bilang suruh gendong sambil ditepuk-tepuk. Ya udah, sini kan lakuin sesuai instruksi."

Rio langsung tidak enak hati. "Maaf, Ro! Saya nggak tahu kalau Rey lagi kambuh manjanya. Biasa juga digendong bentar udah mau ditaruh, kalau masih kayak gini ya harus dipangku sampai pulas."

Waktu memang tidak bisa diputar. Toro yang terus menggerutu tidak akan berpengaruh pada apa pun. Tangannya tetap pegal, tetapi minimal rasa kesalnya sedikit tersalurkan.

"Viiii, tanggung jawab! Pijitin," rajuk Toro sambil mengulurkan tangan ke depan Vira.

"Istri orang! Viiii, aku juga capek banget loh seharian ini. Apa lagi tadi habis gendong kamu pas tidur," protes Rio kemudian. Dia tidak mau kalah dengan Toro dan ikut melakukan hal yang sepupu iparnya itu lakukan.

Calon IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang