Bagian 14

67K 5K 239
                                    

Suasana dingin menemani kediaman keluarga Rio. Vira sedang menahan emosi di kamar, Rey tertidur pulas, dan Rio yang terus beristighfar. Di luar, seorang wanita masih duduk di teras rumah. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing, merasa dirinya yang paling benar dan juga paling menderita.

Vira menarik napas panjang, lalu membuangnya. Hal tersebut dia terus lakukan berulang. Akhirnya kesabaran yang selama ini dia tahan seperti bom yang meledak. Sekarang untuk sekadar bicara baik-baik dengan Rio pun dia merasa enggan. Dia memilih berdiam diri di kamar, menunggu lelakinya mau membuka mulut daripada harus lelah terus merengek. Terserah jika Rio masih mau diam, dia juga akan ikut diam.

Entah rugi atau justru beruntung ketika ada bocah kecil terbangun di tengah kekacauan yang ada. Rey di kamar yang sama dengan Vira langsung bangkit berdiri dan berteriak memanggil ayahnya. Hal yang selalu dia lakukan selama ini, mencari ayah di saat bangun tidur adalah rutinitas.

"Ayahhhhh!" teriaknya sambil membuka pintu. Matanya masih sipit, belum sepenuhnya terbuka sehingga tidak menangkap keberadaan Vira di sudut ruangan.

Jika biasanya Vira akan langsung menyahut dan memberi tahu keberadaan Rio, maka lain halnya dengan sekarang. Dia masih sibuk berdiam diri di sudut kamar, membiarkan Rey yang belum sepenuhnya sadar untuk mencari Rio.

"Ayahhhhh!"

"Ayah di sini, Bang! Di ruang depan," Rio menjawab sahutan Rey dengan sedikit berteriak.

See, hanya mendengar sedikit suara Rio saja herannya sudah membuat Vira semakin kesal.

"Ayah kapan pulang?" tanya Rey begitu sampai di pangkuan Rio.

"Baru aja."

"Ibu mana?"

"Loh, bukannya di kamar?"

"Emang iya? Nggak ada tahu, Yah."

Rio yang menjadi penasaran akan keberadaan Vira langsung meminta Rey duduk sendiri. Dia pergi ke kamar untuk memastikan. Istrinya tidak akan pergi hanya karena perdebatan tadi, bukan? Benar saja, dia menemukan wajah itu di sudut kamar. Sayangnya, baru saja dia akan membuka mulut, Vira langsung berdiri untuk ke luar. Wajahnya masih dingin, penuh dengan aura kekesalan

"Aku mau ke rumah Budhe," ucap Vira ketika tepat ada di samping Rio. Dia tidak menunggu jawaban dan terus bergegas.

Vira berhenti sebentar ketika sampai di ruang tamu. "Bang, ibu mau ke rumah Eyang Uti. Mau ikut?"

"Mau, tapi abang belum mandi sore?"

"Kalau begitu abang nyusul sama ayah, ya? Mandi dulu."

"Iya."

Setelah berbicara dengan Rey, Vira langsung berjalan menuju pintu. Dia menarik napas sebentar sebelum membukanya, berharap tamunya sudah pergi. Dia baru bisa bernapas lega dan tenang ketika terasnya sudah kosong. Wanita yang mengaku sebagai ibu Rey, yang secara otomatis adalah mantan istri Rio sudah pergi.

**

Vira mengetuk pintu rumah budhe Rila yang tertutup.

"Assalaamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalaam. Masuk, Vi! Nggak dikunci!"

Mendengar suara teriakan Toro dari dalam rumah, Vira langsung membuka pintu tanpa ragu. Dilihatnya Toro yang sibuk menonton televisi dengan ponsel di tangan.

"Aku ke kamar kamu bentar, ya!" ujarnya sambil melenggang menuju pintu kayu yang sudah sangat dia hafal. Pintu kamar yang tak lain adalah milik sepupunya.

"Buat apa?"

"Tidur!"

Toro mengernyit heran dengan kelakukan Vira. Vira memang keluar masuk rumah ini seperti rumah sendiri. Namun, seingatnya dia paling tidak suka tidur di tempat orang. Walaupun itu adalah rumah budhenya sendiri. Keheranannya semakin menjadi ketika suara pintu terkunci terdengar olehnya. Dia sangat penasaran, tetapi lebih memilih diam, mungkin Vira memang sedang ingin sendiri. Sangat tidak mungkin jika Vira jauh-jauh datang ke rumahnya hanya untuk menumpang tidur.

Calon IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang