Bagian 19

66.9K 5.3K 204
                                    

Suasana pagi yang seharusnya menyenangkan berubah suram bagi Rio. Bagaimana tidak jika hari ini dia diwajibkan oleh Vira untuk menyelesaikan semua masalahnya dengan Ayi. Pffff, bahkan sekadar untuk menyebut namanya saja lidah terasa ngilu.

"Vi, ditunda aja, ya?" tanyanya malas, masih berbaring di ranjang yang nyaman.

Vira mendengus sambil melipat selimut. "Tadi malam siapa yang bilang lebih cepat lebih baik?"

"Aku."

"Terus sekarang yang bilang ditunda siapa?" tanya Vira lagi.

"Aku."

"Abang jadi lelaki nggak konsisten banget, sih. Gimana mau jadi contoh buat istri sama anak kalau kayak gini. Nanti kalau ditiru Rey plin-plannya gimana? Abang mau?"

Rio bungkam. Vira bisa saja membuatnya diam dan tidak bisa membantah. Ayah mana yang mau seorang anak mewarisi sikap buruk miliknya. Tidak ada, begitu pun dengan Rio

"Jadi?" tanya Vira memastikan. Dia mengambil handuk dan diserahkan kepada Rio, tepat di depan wajah.

Rio yang tidak bisa membantah akhirnya mengambil handuk tersebut. Setelah dipikir-pikir, percuma saja jika dia berdebat dengan Vira hari ini, besok juga pasti terjadi lagi. Semua akan berakhir kalau dia mengalah. Ya, mengalah demi kedamaian jiwa dan raga.

"Oke, aku mandi sekarang. Mau bareng?" tanya Rio sambil bangkit berdiri dan berjalan menuju kamar mandi. Dia menahan tawa ketika wajah Vira berubah menjadi merah padam.

"Viii, gantinya mana? Aku lupa belum bawa," teriak Rio.

Astaga, Vira menggeleng tidak percaya atas ulah Rio. Setelah Rey pergi, kenapa suaminya ini menjadi Rey versi dewasa. Manjanya tidak tanggung-tanggung sejak tadi malam. Apa iya dia harus segera memulangkan Rey agar Rio tidak semakin menjadi? Gerrr.

"Abang biasanya kalau mandi bawa baju ganti, kan? Gimana bisa lupa?" tanya Vira sambil menyodorkan baju ganti kepada Rio yang sedikit membuka pintu.

"Namanya juga lupa, tadi kamu yang buru-buru suruh mandi. Serius nggak mau mandi bareng?"

"Aku mau ke depan," jawab Vira sambil melangkah ke depan berjalan menuju dapur. Dia memilih mengabaikan Rio yang terus mengajaknya mandi.

**

Vira dan Rio sudah sampai di sebuah resto cepat saji sejak sepuluh menit yang lalu. Keduanya sama-sama tidak tenang, khawatir hal yang tidak diinginkan akan terjadi hari ini. Dalam lima menit, Rio terus mengucapkan kalimat protes atas keterlambatan Ayi.

"Dia yang minta ketemu, kan? Harusnya dia datang lebih dulu, Vi. Kenapa ini jadi kita yang nunggu dia? Kita nggak butuh dia, kan?"

Vira tersenyum menenangkan. Cukup tahu saja, kalimat ini sudah diulang sebanyak tiga kali.

"Ya, ampun! Dasar nggak tahu diri."

Kalimat ini sudah yang keempat.

Rio baru akan kembali membuka mulut ketika sosok yang mereka tunggu akhirnya muncul juga.

"Maaf terlambat," ucap Ayi sambil duduk di kursi kosong yang ada.

"Nggak papa, Mbak," ujar Vira ramah. Padahal dalam hati tidak jauh berbeda dengan Rio, dia sedikit kesal karena dibuat menunggu. Sepuluh menit memang terlihat tidak lama, tetapi alangkah baiknya jika bisa menghargai waktu. Sepuluh menit kalau dalam ending film itu sangat penting dan tidak bisa diabaikan.

Rio mengedipkan mata, memberi kode kepada Vira agar dia yang berbicara. Kursinya tiba-tiba menjadi panas sehingga dia ingin segera pergi.

"Jadi, gini, Mbak. Kami sepakat buat nggak bahas masa lalu, terutama alasan mbak pergi. Bagi kami, itu cuma masa lalu yang tidak akan bisa diperbaiki. Langsung saja, masalah bertemu Rey kami akan aturkan besok saat jam makan siang. Mbak Ayi bisa mampir ke rumah. Tapi, maaf, Mbak! Kami nggak bisa bilang soal siapa mbak ke Rey. Dia masih terlalu kecil dan tidak akan mengerti. Kami janji, nanti kalau dia sudah dewasa akan memberitahunya. Gimana?"

Calon IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang