Bagian 10

71.4K 5.6K 142
                                    

Rara langsung diam seribu bahasa. Di hadapannya, Andra terkekeh sambil berjalan meninggalkan mereka berdua. Sial sekali, padahal kan dia yang tadi awalnya bertanya kenapa. Kalau saja Andra tidak bertanya, dia juga tidak akan kelepasan seperti tadi.

Rara berusaha tersenyum kepada Vira, meskipun sedikit sungkan. Ketahuan membicarakan kejelekan orang lain itu membuat rasa bersalah akan meningkat menjadi dua kali lipat. Apalagi, di hadapannya Vira hanya diam, tanpa ekspresi yang ketara.

"Bang Rio ada, Ra?" tanya Vira memecah keheningan yang sudah beberapa menit tercipta.

"Ah, Abang ada ... ada di dalam, Kak. Ayo kita masuk."

Vira mengikuti Rara sambil menyeret koper miliknya. Beruntung Toro tidak ikut menemaninya masuk sehingga tidak perlu mendengar kalimat pedas dari adik iparnya. Seandainya lelaki itu dengar, pasti akan membelanya habis-habisan. Dia tidak pernah suka ada yang memojokkan Vira sekali pun itu memang Vira yang salah. Pembelaan buta.

"Kakak duduk dulu, kopernya biar aku bawa ke dalam."

"Eh, nggak usah, Ra. Biar aku yang bawa," tolak Vira halus. Bagaimana tidak menolak, melihat perut Rara yang sudah membuncit. Dia tidak tega.

Keduanya duduk berhadapan di ruang tamu. Setelah beberapa menit dalam keheningan, akhirnya Rara membuka suara.

"Aku minta maaf, Kak. Maaf kalau kata-kataku kasar, sok benar. Padahal aku hanya melihat dari satu sudut pandang saja. Bisa jadi, jika melihat dari perspektif berbeda akan mengubah penilaian."

Vira masih berdiam, membuat Rara kembali melanjutkan kalimatnya.

"Aku cuma ingin Abang bahagia, itu saja. Selama ini dia hanya memikirkan orang lain. Dia sibuk ngurusin aku sama Rey sampai melupakan dirinya sendiri. Dia selalu tampak bahagia, tetapi aku yakin Abang juga terluka. Dia sudah seperti ayah bagiku, juga ibu buat Rey."

Rara mengembuskan napas pelan. "Jadi, aku mohon Kakak jaga mereka berdua."

Vira masih terdiam menyimak kalimat yang diucapkan Rara. Lalu, rasa bersalah itu muncul tidak terkira. Dia sudah terlalu banyak merepotkan Rio, beranggapan bahwa dialah orang paling menderita. Padahal, Rio juga sama sepertinya. Setiap orang pasti punya masalah masing-masing.

"Akan kuusahakan. Boleh aku lihat Abang?" tanya Vira pada akhirnya.

Selanjutnya, Rara mengantar Vira menuju kamar tamu yang saat ini ditempati Abang dan keponakannya. Dia meninggalkan Vira tepat di depan pintu.

Pemandangan yang ada di depan mata membuat Vira menghela napas. Terlihat Rio yang tidur sambil memeluk Rey. Dia mencoba mendekat dan akhirnya melihat dengan jelas wajah yang sekarang terlihat pucat. Tangannya terulur untuk mengecek suhu tubuh Rio dan menghela napas ketika dirasa demamnya sudah tidak parah. Dahinya hanya terasa hangat. Setelahnya, dia menatap bingung kasur yang ada. Sisa tempat hanya ada di samping Rey dan itu sungguh tidak membuatnya nyaman. Vira lebih memilih meringkuk di sofa yang ada di sudut kamar daripada ikut bergelung bersama mereka.

♥♡♥

Vira mengerjap pelan dan menemukan dia sudah pindah ke ranjang. Dia hanya sendiri, tidak ada Rio maupun Rey. Suara obrolan dari ruangan depan menyadarkannya kalau waktu sudah menjelang pagi. Ponsel menunjukkan jam lima. Dia beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap salat Subuh.

Langkah Vira langsung terhenti ketika melihat Rio sudah duduk di ranjang sambil bersandar. Dia tersenyum kaku.

"Terima kasih ka--"

"Aku mau salat dulu," potong Vira cepat. Dia masih belum siap bertatap muka dengan Rio setelah perdebatan sebelumnya. Jadi, mencari alasan yang untuk menghindar adalah tindakan paling benar.

Calon IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang