Bagian 9

62.8K 5.7K 156
                                    

Rio tidak lagi muncul sekadar untuk menegurnya. Hal yang membuat Vira terus berpikir. Apakah dia sudah keterlaluan? Apakah selama ini dia menjadi orang egois yang membuat orang lain menderita? Apa salah jika dia hanya ingin berada pada posisi nyaman?

"Ini udah lebih dari satu minggu. Berapa lama lagi waktu yang kamu butuhkan? Satu bulan? Satu tahun? Toh, walaupun udah pindah ke sana, kita masih bisa berkunjung ke sini. Biar Toro yang bantu jaga rumah ini."

Perkataan Rio terus berputar di kepala hingga dia merasa pening sendiri, tidak tahu keputusan apa yang harus diambil. Akhirnya, dia memilih untuk ikut masuk ke dalam kamar.

Di atas ranjang, dilihatnya Rio yang sudah terpejam. Dia ikut berbaring di sampingnya dan langsung berjingkat ketika merasakan badan di sampingnya terasa hangat. Bagus, ternyata benar, semua orang yang ada di sampingnya hanya akan menderita. Dia memang pembawa sial. See, Rio demam pasti karenanya.

Suara bunyi ponsel milik Rio membuat Vira dengan cepat memejamkan mata. Dia ingin melihat apa yang terjadi.

"Assalaamu'alaikum, Ra," suara lirih serta serak terdengar di telinga.

...

"Kamu kasih apa gitu biar diam."

...

"Oke, Abang ke sana sekarang. Tolong hibur, Rey. Wassalaamu'alaikum."

Gerakan Rio yang bangkit dari tidur sangat terasa. Tidak lama kemudian sebuah kecupan singkat di dahi dia terima.

"Aku pergi dulu."

Setelahnya, Vira menyipitkan mata, melihat Rio mengambil jaket yang ada di gantungan dan menutup pintu kamar. Suara deru mobil terdengar memecah kesunyian.

**

Ini aneh. Tidak biasanya Rio menghilang begitu saja. Biasanya pada saat jam makan siang suaminya itu akan menelepon sekadar untuk absen. Namun, berbeda dengan hari ini. Keberadaannya lenyap seperti di telan bumi. Kebiasaan yang hilang itu akan terasa aneh. Rio yang menghilang akhirnya membuat Vira tidak nyaman.

Baiklah, mungkin ini adalah sebuah sentilan untuknya dari Rio. Lelaki itu mengingatkannya untuk tidak boleh egois dan berhenti berada posisi nyaman. Dia harus belajar untuk mengalah dan mengikuti permintaan Rio agar pindah rumah. Percayalah, lebih baik diberi ceramah panjang berupa omelan daripada diabaikan. Itu pun yang dirasakan Vira.

Vira memutuskan melakukan panggilan. Dia siap mengibarkan bendera putih dan belajar berdamai dengan keadaan yang ada di depan mata.

Pada nada sambung keempat, barulah telepon diangkat. Suara perempuan mengucapkan salam membuat Vira mengernyit.

"Kak Vira ada perlu apa? Bilang sama Rara aja. Bang Rio sedang tidak enak badan dan harus istirahat. Kakak udah puas buat Abang kayak gini? Pada akhirnya segala sesuatu yang diforsir tidak akan baik. See, Bang Rio itu cuma manusia biasa yang bisa saja tumbang. Lalu, kalau keadaannya sudah seperti sekarang siapa yang akan tanggung jawab? Siapa yang akan mengurus Rey dan Kak Vira? Tidak ada, kan? Seharusnya ketika kalian menikah, beban yang ada di pundak Abang itu berkurang bukan justru seperti sekarang. Dia seperti mengurus dua bayi besar."

Hening.

Perkataan adik iparnya terasa seperti tangan tak kasat mata yang meremas hati. Semua yang dikatakan Rara benar. Sejak menikah, dia hanya menambah beban bagi Rio. Dia belum menjalankan peran sebagai istri dengan baik.

"Ra, balikin ponsel Abang," suara yang tidak asing terdengar di ujung telepon. Walaupun lirih, itu jelas suara Rio.

"Terus kalau dibalikin Abang mau apa? Mau pergi kalau Kak Vira bilang butuh Abang? Sekali aja Abang dengar apa kata aku bisa nggak, sih? Abang butuh istirahat."

Calon IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang