Bagian 11

66.7K 5.8K 220
                                    

Ini spesial untuk teman-teman yang sudah setia menunggu update. Terima kasih, ya! Mohon maaf  lama nggak muncul karena 1 dan lain hal ^,^. Lama nggak nulis, semoga masih dapat feel.nya. Saran dan kritik tetap ditunggu, ya.

♥♥♥

Vira menarik napas panjang sebelum memulai cerita.

"Aku sama El selisih lima tahun. Ibu sangat senang waktu tahu adikku laki-laki. Katanya mau dimasukin ke angkatan."

Dia tersenyum tipis, memorinya memutar ingatan ketika masih kecil.

"Ibu selalu membelikan baju loreng buat El, katanya biar dia mulai terbiasa sejak kecil. Lalu...."

Kalimat Vira terhenti, membuat Rio yang dari tadi menyimak mengernyitkan dahi.

"Lalu ... waktu itu ... aku ...."

Lagi, kalimat Vira kembali berhenti. Pelan, air mata mulai mengalir di pipi. Bukannya melanjutkan, dia justru semakin terisak hebat. Hal yang membuat Rio mendekat dan mengusap bahunya pelan.

"Aku sama El ...."

Rio menyerah. Dia tidak tega jika permintaan sederhananya justru membuat Vira seperti ini. Akhirnya dia merengkuh Vira sambil terus mengusap bahu yang masih berguncang.

"Kalau kamu belum siap jangan dipaksa," ucapnya pelan.

"Tadi katanya aku harus cerita," protes Vira di sela isakan. Rio menjadi serba salah mendengarnya. Dia sama sekali tidak mengira akan seperti ini.

"Oke, lanjutkan."

Vira kembali menarik napas panjang. Setelah beberapa menit, tangisnya sudah berhenti.
"Waktu itu kami bertiga di rumah. Ayah sedang bekerja. Aku ingat El baru aja bisa berlari. Kemudian ... kemudian ibu bilang mau ke warung buat beli telur. Nggak jauh, cuma selisih dua rumah. Ibu berpesan agar kami baik-baik di rumah.... Kami berdua main bola. Bola itu keluar dari halaman rumah, tepat berada di seberang jalan. Rumah kami dekat jalan. Aku meminta El yang nggak bisa nangkap buat ambil. Lalu .... "

Isakan yang tadi sudah berhenti kembali lagi. Memori yang sudah mati-matian Vira lupakan tetap masih sangat jelas di ingatan.

"Aku yang bunuh El, Bang. Kalau aja aku nggak lempar bola terlalu jauh. Kalau aja aku nggak minta El buat ambil. Kalau aja aku yang pergi, pasti mobil itu nggak nabrak El. Pasti El masih hidup. El sekarang sudah jadi angkatan. Ini semua salahku," teriak Vira dengan air mata yang kembali mengalir.

"Ssttt, ini bukan salahmu. Ini namanya takdir yang tidak bisa diubah," ujar Rio berusaha menenangkan.

"Badan El terlempar. Darah di mana-mana. Semua orang langsung datang berkerumun."

"Ibu yang baru datang langsung pingsan. Ayah yang juga datang nggak lama kemudian langsung diam tanpa berkata apa pun. Aku ... aku pembunuh."

Rio mulai paham atas apa yang terjadi pada Vira di masa lalu. Rasa bersalah itu terus menghantui hingga sekarang. Itu sebabnya dia selalu menghindari anak kecil, termasuk Rey. Vira takut apa yang terjadi pada El akan terulang.

Usapan pelan yang tadi di bahu kini pindah ke kepala. Rasanya menenangkan. Vira belum melanjutkan cerita, isakannya masih sesekali terdengar.

"Sudah cukup. Aku mengerti."

"Bang," lirih Vira pelan. Kepalanya mendongak, melihat Rio yang fokus menatapnya.

"Hm."

"Aku juga udah bunuh Ibu. Karena El pergi, ibu jadi pendiam. Ibu nggak mau makan dan minum. Ibu ngerasa jadi penyebab El pergi. Waktu ayah kerja aku ... aku lihat ibu tidur di lantai. Aku bangunin, tapi nggak mau bangun. Kata ayah, ibu pergi buat nemenin El, katanya mereka sedang liburan. Seiring berjalannya waktu, aku mulai tahu apa itu hidup dan mati. Ibu dan El bukan pergi liburan, tapi pergi dari dunia. Setiap kali terbangun di tengah malam, aku sering mendengar Ayah menangis. Aku seperti anak pembawa sial. Kalau saja a--"

Calon IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang