Bagian 24

61.3K 5.1K 249
                                    

Urusan persiapan resepsi menikah sudah beres dan hanya menunggu tanggal main. Acara akan diselenggarakan satu bulan setelah Rara melahirkan dua bocah kembar. Sayangnya, dalam hidup itu memang selalu penuh dengan masalah. Masalah selalu diikuti dengan solusi, pun juga diikuti dengan masalah baru. Rara sudah melahirkan dua bocah cilik yang diberi nama Fauzan dan Fauziyah. Lalu, sekarang masalahnya adalah ada pada Rey. Bocah itu kembali menagih janji masalah adik. Masih jelas dalam ingatan kalau dulu Rio pernah menjanjikannya seorang adik setelah Rara melahirkan.

Rey duduk di sofa dengan tangan bersedekap. Sejak menginjakkan kaki di rumah dia enggan membuka mulut, juga sejak dalam perjalanan pulang dari Malang ke Jogja. Dia keras kepala dan tidak ingin pulang sebelum Vira mengancam pulang atau tidak akan pernah punya adik. Vira sendiri sudah kewalahan untuk merayu Rey, bahkan mereka sudah tinggal hampir satu minggu di sana. Rey suka sekali melihat Si Kembar sambil curi-curi waktu untuk mengobrol dengan mereka. Pokoknya bayi yang baru bisa menangis dan tidur itu sudah diajak bicara seperti orang dewasa.

"Masih ngambek?" tanya Rio kepada Vira di sampingnya. Dia baru saja pulang, lelah disambut dengan muka masam Rey. Rasanya semakin lelah saja.

Vira mengangguk. "Iya, tadi pas Toro jemput aja udah ditawarin mancing tetap nggak mau dia. Katanya pengen adik. Kalau aja mau bayi sehari jadi atau bisa dibeli, aku kasih selusin."

Rio menghela napas sebelum akhirnya duduk di samping Rey.

"Ayahnya pulang kok nggak dijawab salamnya, Bang?" tanyanya pelan. Rey yang biasanya langsung berlari ketika dia pulang memang tidak beranjak sedikit pun. Boro-boro beranjak, membuka mulut pun enggan.

Bibir Rey sudah maju ke depan, matanya terlihat berkaca-kaca. Rio menggelengkan kepala pasrah sambil menatap Vira. Dia hafal betul kalau sebentar lagi Rey akan menangis. Kebiasaan yang sudah lama tidak dilakukan kini kembali lagi.

"Ayah katanya kalau dedek Nte Rara lahir mau ngasih abang adik. Mana, Yah?" tanya Rey dengan suara sedikit bergetar.

"Adik.... Abang mau adik, Yah! Hiks...mau adik, Yah!"

Lepas sudah, Rey benar-benar menangis karena keinginannya tidak terpenuhi. Bukan tangisan yang meraung tinggi, tetapi hanya terisak. Isakan yang membuat miris orang dewasa yang melihatnya.

"Abang, adik itu nggak bisa cepet jadinya. Nte Rara aja punya dedek bayi lama, kan? Jadi, abang yang sabar nunggunya, ya. Abang nangis juga dedeknya belum ada. Sekarang kan ada Dek Uzan sama Dek Ziya. Main sama mereka dulu sebelum abang punya adik sendiri, ya?" bujuk Rio sambil mengangkat Rey ke dalam pangkuan.

"Dulu, katanya abang punya adik kalau dedeknya Nte Rara udah keluar," ujar Rey dengan suara lirih mengulang kalimat tanya sebelumnya.

Rio merutuk dalam hati, sadar atas kesalahan dari jawaban yang pernah dia sampaikan. Mungkin dulu jawaban itu bisa membungkam Rey, tetapi kini justru menjadi bumerang. Rey belum melupakannya.

"Nanti, Abang. Abang berdoa ya biar cepet punya adik."

Rey dengan cepat langsung menengadahkan kedua tangannya. Bibirnya berucap dengan kencang. "Ya Allah, abang minta dedek, ya Allah!"

Vira yang melihat hal itu menahan tawanya agar tidak kelepasan. Sementara Rio menggelengkan kepala dengan geli.

"Nggak gitu juga kali, Rey!" ujarnya dalam hati.

"Abang udah makan belum? Makan dulu sama ibu, ya?" tanya Rio mencoba mengalihkan perhatian.

"Abis makan ke rumah Nte Rara ya, Yah? Mau lihat dedek," tanya Rey dengan sisa-sisa isakan yang ada.

Rio terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Lelahnya menjadi tiga kali lipat setelah menanggapi Rey.

"Abis makan ke rumah Om Toro aja mau, Bang? Atau temani ibu beli sayur aja, ya? Nanti kita beli es krim. Nte Rara kan masih di rumah Opa Revan belum pulang ke sini." Vira yang dari tadi menjadi penonton akhirnya membuka mulut.

Calon IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang