Vira berulang kali membalik kalender meja. Perasaannya menjadi campur aduk, antara senang dan juga khawatir. Dia takut kecewa. Hari ini sudah telat satu minggu dari jadwal bulanan. Dia ingin mengecek, tapi takut kekecewaan itu akan membuatnya down seperti beberapa bulan lalu. Akhirnya, dia memilih aman, menunggu lebih lama lagi.
Hal yang sama dilakukan oleh Rio tanpa sepengetahuan Vira. Siapa sangka kalau dia juga memberi tanda sendiri di kalender tempat kerjanya sejak beberapa bulan lalu. Kali ini dijamin aman, Vira tidak akan tahu kalau dia diam-diam memerhatikan tanggal. Dia tersenyum tipis ketika tanggal terus berjalan tanpa tanda seru. Harapan itu mulai tumbuh sedikit, demi sedikit. Namun, dia takut harapannya harus kembali pupus. Dia juga tidak berani meminta Vira untuk melakukan tes sederhana sekadar menggunakan test pack. Istrinya itu terlalu sensitif jika sudah menyangkut momongan. Wajahnya akan langsung seperti langit mendung jika ada yang bertanya tentang hal tersebut. Lalu, di malam hari akan turun hujan deras sebagai pelampiasan. Esoknya, barulah terang datang. Bayangkan kalau setiap hari ada yang bertanya? Yang ada setiap malam dia mati gaya hanya bisa melihat Vira menangis.
Rio menatap apotek yang terlihat dari lampu merah. Jarinya sudah gatal ingin menepi setelah lampu berubah hijau.
Beli, nggak, beli, nggak!
Ah, sudahlah. Nanti saja!
Beli aja kali, ya?
Akhirnya, Rio tetap berjalan lurus tanpa menepi. Wajahnya berubah murung, seperti Rey kalau keinginannya tidak terpenuhi.
**
Satu Minggu kemudian, Vira masih belum mendapatkan jadwal bulanan. Penasaran, akhirnya dia memutuskan untuk melakukan tes dengan test pack, tentu saja tanpa sepengetahuan Rio.
Detik demi detik berlalu, tidak ada tanda bahagia yang muncul.
Anda belum beruntung!
"Ibuuuu!"
Suara teriakan dari kamar sebelah membuat Vira dengan cepat membereskan test pack dan bungkusnya ke tempat sampah. Rey akan menangis setiap bangun tidur jika tidak menemukan orang lain selain dirinya di dalam kamar.
"Ibu ke mana aja? Abang kira di rumah sendiri," tanya Rey yang sudah nyaris terisak.
Vira tersenyum lembut. Lima hari yang lalu, dia terpaksa meninggalkan Rey yang sedang tidur karena gas habis ketika sedang memasak. Rey terbangun pada saat yang tidak tepat. Vira kembali dengan disambut suara tangisan dari Rey yang terkunci di rumah. Sejak hari itu, Rey setiap bangun tidur akan berteriak untuk mencari ayah atau ibunya.
"Ibu lagi beres-beres. Nggak pergi ke mana-mana, kok."
"Bohong! Kemarin abang tidur terus ibu sama ayah pergi. Abang di rumah sendiri, ndak bisa keluar," ujar Rey sambil mencebikkan bibir.
Antara mau tertawa dan juga merasa bersalah. Akhirnya Vira mengusap kepala Rey dengan sabar.
"Nggak lagi, janji. Sekarang pipis dulu, yuk, Bang? Sekalian mandi, ya?"
"Abis mandi ke tempat dek Uzan, ya, Bu?" tanya Rey dengan berbinar.
"Adeknya lagi pergi kan ke rumah Opa Revan."
Rey langsung menekuk wajahnya, kecewa. "Kok lama banget, Bu? Ndak pulang-pulang."
"Besok pagi baru pulang. Udah, yuk sekarang mandi dulu. Nanti habis mandi kita jalan-jalan naik sepeda."
Namanya anak kecil, mudah sekali dipengaruhi. Wajah Rey kembali berbinar menerima tawaran dari Vira.
"Naik sepeda ke rumah Om Toro ya, Bu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Calon Ibu
HumorMasa lalu itu ada bukan untuk dilupakan. Masa lalu itu ada sebagai alasan untuk hari ini. Selamanya, kita tidak akan bisa untuk mengubahnya. ~Dia tidak hanya mencari seorang istri, melainkan ibu untuk anaknya.~ ~Dia tidak hanya mencari seorang suami...