Bagian 7

64.2K 5.4K 117
                                    

Kehilangan. Rio tahu benar bagaimana rasanya. Dia pernah kehilangan sosok ibu yang selama ini sudah menjadi panutannya. Meninggalkan dia, hanya berdua dengan Rara. Ah, bertiga dengan Rey. Saat itu, rasanya Tuhan memaksa untuk meminta kembali apa yang menjadi milik-Nya, tanpa peduli betapa kita ingin mengikatnya. Namun, sekali lagi, usia itu sudah tertulis di Lauhul Mahfuz.

Semuanya terjadi begitu cepat. Rio menerima panggilan dari Vira yang meminta bertemu, ditemani Budhe yang tak lain adalah ibu dari Toro mereka berbicara enam mata. Vira yang terus meminta Rio menikahinya dengan diiringi isakan kecil.

"Elvira, bukan saya nggak mau nikah sama kamu. Tapi, menikah itu bukan sekadar kamu memenuhi permintaan terakhir ayahmu. Kamu sendiri yang kemarin menolak lamaran saya. Itu artinya kamu tidak pernah ingin menikah dengan saya, kan?

"Aku berubah pikiran. Tolong, nikahi aku secepatnya."

Rio memandang Vira tidak percaya. Antara kasihan, tetapi juga kesal. Bagaimana bisa wanita ini meminta 'nikah' seperti bocah minta permen.

"Apa kamu siap jadi ibu yang baik buat anak saya?"

Vira terhenyak. Dia langsung diam, pandangannya menerawang. Rio langsung mencibir dalam hati. See, Vira hanya menuruti ego tanpa mempertimbangkan hal lainnya. Dia langsung berdiri karena merasa tidak ada pembicaraan yang harus dilakukan. Baginya, dia tidak akan menikah selama calonnya belum bisa menerima Rey.

"Aku siap."

Suara lirih itu menghentikan langkahnya. Rio menatap Vira dengan dahi berkerut, menilai apa yang wanita itu ucapkan. Keyakinan jelas terpancar darinya. Well, dia akan menerima permintaan Vira, hitung-hitung untuk menghentikan aksi merajuk Rey.

♡♡

Ketika kita sedang mendapat cobaan, adakalanya kita lupa siapa yang telah memberi cobaan itu. Kita hanya berusaha untuk bagaimana bisa berdiri tegak, melewati cobaan yang bagai duri tajam melintang di jalan. Vira lupa, dia hanya berpikir kalau Riolah orang yang bisa membantu dia untuk menyingkirkan duri-duri itu. Dia lupa, bisa saja duri itu melintas di sepanjang jalan tanpa pernah habis. Kalau Tuhan sudah berkehendak, tidak ada yang bisa dilakukan kecuali menerima ketentuan-Nya.

Pernikahan sederhana dan dadakan mereka lakukan di depan jenazah dengan wali nikah Pakdhe Tedi, saudara kandung dari Ayah Vira. Sebuah ritual yang mengundang tangis haru dari kerabat dekat. Setelahnya, barulah acara pemakaman dilaksanakan.

Kalau saja tidak ada Rio di sampingnya, mungkin Vira sudah tidak sanggup untuk berjalan menuju pemakaman yang jaraknya hanya 200 meter dari rumah. Badannya langsung meluruh ke tanah, tidak kuasa melihat apa yang ada di depannya ketika prosesi pemakaman dimulai. Percayalah, hal paling berat adalah melihat orang yang kita sayangi dimasukkan ke tanah persegi panjang, satu per satu kayu papan digunakan untuk menutupi raga tersebut, terakhir tanah yang sepenuhnya memisahkan kita dengan orang yang kita sayang.

Vira menatap kosong pada tanah basah yang ada di depannya. Isakannya memang sudah berhenti, dia terlalu lelah untuk menangis. Namun, setiap mata yang melihat pasti tahu betapa kesedihan terpancar dari mata kosongnya. Di saat orang lain mulai meninggalkan pemakaman, dia masih duduk bersimpuh dengan Rio berdiri tegak di sampingnya.

"Kita pulang sekarang," ujar Rio pelan ketika sudah terlalu lama menunggu Vira berdiri.

Vira menggeleng cepat.

"Elvira."

"Biarkan aku di sini. Aku mau menemani Ayah. Kalau aku pergi, nanti malaikat Munkar dan Nakir akan menemuinya. Aku nggak mau ayah tersiksa. Aku ... aku akan terus di sini."

Sama persis. Kejadian ini tidak jauh berbeda dengan yang pernah dialami Rio. Ketika ibunya pergi, Rara juga melakukan hal yang sama seperti Vira. Wanita memang mudah sekali melupakan emosi, menyuarakan isi hatinya. Berbeda dengan dia, bersikap seolah semua baik-baik saja walaupun hatinya juga sama terluka. Rio ikut duduk bersimpuh di samping Vira, menepuk bahunya pelan.

Calon IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang