Rio berkali-kali melihat ponselnya, hanya untuk mengecek balasan dari Vira. Sayangnya, sampai jam kerjanya habis pesan tersebut tidak mendapat balasan. Miris, rasanya nyaris seperti remaja jatuh cinta yang menunggu balasan pesan dari gebetannya. Dia mengembuskan napas panjang, sebelum akhirnya bertukar shift dengan Andra dan pulang ke rumah.
"Assalaamu'alaikum," ucapnya ketika masuk ke dalam rumah.
"Wa'alaikumsalaam," jawaban mbok Minah terdengar dari ujung dapur.
"Ayah, ayuk ke rumah Ibu?"
Rio yang tadi sudah memasang senyum untuk menyambut Rey, langsung berubah masam. Tidak bisakah, dalam satu hari saja tidak ada kata 'ibu' di rumah ini? Semua saja disebut Rey dengan nama ibu. Siapapun wanita dewasa akan dia panggil seperti itu, termasuk Vira. Mbak Isyana yang ada di klinik pun juga dipanggil demikian. Ah, jangan ketinggalan dengan pengantin baru yang tinggal di sebelah rumah mereka. Lalu, siapa yang dimaksud ibu oleh Rey saat ini? Rio pun tidak tahu.
"Salam!" ujarnya tegas yang membuat senyum semangat dari Rey langsung hilang.
"Wa'alaikumsalaam, Yah!" Rey berucap pelan, lalu mencium punggung tangan milik Rio.
"Jadi Rey mau ke tempat ibu yang mana?" tanya Rio sambil mengusap kepala Rey dan menggandengnya menuju ruang tamu.
"Pak Kumis, Yah. Itu loh yang Rey bobo terus bangun di rumah Pak Kumis."
Bayangan Pak Tyo dengan kumis tebalnya langsung muncul di kepala Rio. Bukankah ketika itu Rey sedang mengigau? Lalu, kenapa anak ini bisa ingat kalau pernah tidur di sana? Tidak lama, bayangan Pak Tyo menghilang dan berganti dengan wajah jutek milik Vira. Ingat Vira, dia menjadi kesal sendiri karena teringat pesan yang diabaikan.
"Ke rumah Nte Rara aja ya, Bang? Kasihan di rumah sendiri, Om Andra baru kerja."
Rey menggeleng. Percuma, kalau sudah begini akan sangat sulit mengubah keinginannya. Rio hanya mempunyai dua pilihan, membiarkan Rey terus menangis dan menolak makan atau menuruti keinginannya. Pilihan yang sama-sama sulit. Pada akhirnya, dia mengambil pilihan pertama. Dia tidak ingin menjadikan Rey anak yang manja dengan menuruti apapun yang dimau. Toh, ketika rasa lapar menghampiri pasti dia akan makan nantinya.
**
"Abang gimana, sih? Punya anak kok dibiarin kelaparan. Kalau udah kayak gini aja baru kelimpungan."
Rio memilih mengabaikan ceramah dari Rara yang baru datang ke klinik. Well, inilah akhir dari kekeraskepalaannya terhadap Rey kemarin. Anak itu terpaksa diinfus karena kekurangan cairan. Dia sama sekali tidak menyangka kalau akan berakhir seperti ini. Biasanya, aksi Rey akan berhenti dan lupa jika hari sudah berganti malam.
"Dia minta ibu lagi?" tanya Rara kembali.
Rio mendengus. Sudah tahu pakai tanya!
"Tadinya Abang cuma mau didik dia supaya nggak manja, Ra. Abang mau kasih tahu dia kalau nggak semua yang kita inginkan itu bisa tercapai. Siapa yang tahu kalau dia tetap ngotot, nggak mau makan."
Rara mendekat dan mengusap kepala Rey dengan sayang, "Bang, aku tahu bagaimana rasanya menjadi Rey. Aku tahu bagaimana rasanya mempunyai keluarga yang tidak lengkap sejak kecil, sama seperti Rey. Di sekolah, saat melihat teman-teman yang lain diantar oleh ayahnya, dulu aku selalu berpikir, kenapa nggak punya ayah seperti mereka. Ketika ada teman yang dengan bangga menceritakan ayahnya, aku selalu tersakiti karena merasa berbeda. Rasa iri, kecewa dan sakit hati semua bercampur menjadi satu.
Abang masih ingat kan kalau dulu sejak kecil jarang bermain karena memilih di rumah untuk menemani Rara? Itu karena Abang nggak mau aku nangis karena ingat kejadian di sekolah. Abang mempunyai cara tersendiri untuk membuat aku lupa. Kadang, Abang juga membawa Rara bermain di lapangan hanya untuk melihat Abang dan yang lain bermain bola. Hal itulah yang saat ini berbeda antara aku dan Rey. Aku masih mempunyai Abang di saat ibu mencari nafkah. Aku masih mempunyai Abang yang selalu menemani dan menghiburku di saat sedih. Namun, Rey? Dia nggak punya siapa-siapa. Dia cuma mempunyai kita, orang dewasa. Coba Abang bayangin kalau satu-satunya orang yang kita harapkan ternyata mengecewakan? Mungkin itu yang dialami Rey. Dia hanya menggantungkan harapan kepada ayahnya dan ternyata kekecewaan yang di dapat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Calon Ibu
HumorMasa lalu itu ada bukan untuk dilupakan. Masa lalu itu ada sebagai alasan untuk hari ini. Selamanya, kita tidak akan bisa untuk mengubahnya. ~Dia tidak hanya mencari seorang istri, melainkan ibu untuk anaknya.~ ~Dia tidak hanya mencari seorang suami...