WS 17

4K 234 6
                                    

Aku pun tiba dikelas dengan selamat. Tampak semua pasang mata melihat najis kearah langkahku. Oh God. Tanpa mempedulikan tatapan seram itu, aku langsung berjalan kearah bangkuku. Nindy sudah hadir disana. Nindy masih kelihatan mempesona. Aku pun sudah berdiri dengan mantap dihadapan Nindy.

"Hei, Dave," sapa Nindy dengan senyuman andalannya.

Weeppsss, sepertinya aku menangkap sebuah lubang kecil dipipinya, lubang itu semakin membuatnya terlihat cantik saat tersenyum. Seandainya saja aku mempunyai lesung pipi seperti punya si Nindy, aku jamin aku akan menjadi bintang disekolah ini.

"Hai Nin," sapaku kemudian.

Aku pun mengambil ancang-ancang untuk duduk , dan..

"Eeiiitt jaa...." cegah Nindy.

Nindy terlambat. Lalu aku menghempaskan pantatku ke bangku kayu ini. Errr, tidak nyaman sama sekali. Rasanya seperti menduduki semacam benda yang sedikit menusuk, aww sakit. Benda menusuk? Aku pun lansung mengangkat tubuhku.

"Gue bilang juga apa? Jangan didudukin," ujar Nindy.

Aku pun melihat benda yang berhasil kuremukkan dengan pantat ganasku ini. Sebuah mawar merah tampak sudah hancur, kelopaknya sudah rontok. Plastiknya juga sudah terlihat kusut. Mengapa tadi aku tak melihat benda cantik ini?Aku pun mengambilnya dan memegangnya secara perlahan.

"Ohh, maafkan pantatku ini bunga cantik," ujarku.

Hhm, sepertinya aku juga telah membuat kecewa hati Nindy karena telah merusak hadiah paginya untukku. Aku kemudian melihat kearah Nindy dengan tampang memelas.

"Ohh Nind, ini indah sekali. But, I'm so sory, coz I've ruined this beautiful flower," ujarku meminta maaf.

"Hei, itu bukan bunga dari gue," bantah Nindy.

Bukan Nindy? Jadi siapa? Hmm, aku rasa Nindy hanya belum berani untuk berterus terang. Kemudian aku tersnyum kearahnya.

"Heh? Ngaku deh, ini dari kamu kan?" tanyaku kemudian.

"Bukan Dave. Kalau ga percaya, liat aja tuh," ujar Nindy sambil menunjuk ke sebuah note kecil yang tergantung di tangkai mawar merahnya. Kemudian aku mengambil note tersebut.

"Uhm, siapa ya?" tanyaku semakin penasaran.

Nindy menggeleng.

"Sejak kapan ada disini?" tanyaku kearah Nindy.

Lagi-lagi Nindy menggeleng.

"Bisa ga kamu mengangguk?" tanyaku karena sedikit jenuh akan gelengan kepala Nindy.

Lagi-lagi Nindy MENGGELENG.

"Arghhhh..." ujarku tak jelas.

Nindy tersenyum.

"Kayaknya lo punya penggemar baru," akhirnya Nindy mengangkat suara altonya.

Aku tak menggubris. Pikiranku tertuju akan note kecil itu.

"Lebih baik, lo buka dirumah aja. mungkin akan terlihat lebih dramatis," sambung Nindy.

Aku kemudian berfikir. Ya, Nindy benar. Aku harus membukannya di Rumah saja. mungkin lebih terlihat istimewa.

"Yah, kamu bener Nindy," ujarku setuju.

Kemudian kembali duduk dan menaruh bunga mawar reot itu ke saku ranselku. Pikiranku kalang kabut. Hem, siapakah yang berhasil membuatku penasaran seperti ini? Siapakah orang yang mengirimku bunga mawar ini? Bukankah valentine sudah berlalu?

Pikiranku semakin simpang siur, belum lagi saat aku mendapati Jeje memasuki kelas. Haisssssssss, suasana kelas tampak berubah, menjadi semakin mencekam. Bagai kehadiran roh halus yang jahat. Senyumannya membuat hatiku bergidik.

Without SunshineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang