WS 34

3.2K 206 19
                                    

Itu Jeje.

Namun, kali ini dia terlihat sangat berbeda. Dia semakin terlihat kurus, tapi itu tak dapat menyembunyikan kecantikannya. Oscar telah menjelaskan segalanya. Jeje hanya kecewa, dan melampiaskan segalanya. Dan Oscar berkata bahwa sebenarnya antara dia dan Jeje tak ada hubungan spesial, mereka hanya saudara. Saudara sedarah. Oscar juga memberitahuku bahwa Junior, adalah anak Dharma. Tentu, semua ini salah Dharma. Tak ada lagi dendam.

Aku duduk di gazebo dan menatap lurus kearah kolam renang. Jeje ikut duduk disampingku. Aku sedikit canggung.

"Aku minta maaf.." ujar Jeje sambil menatapku.

Tatapannya tak berbohong. Lalu tangannya mengusap kepala Junior yang sibuk menatap Jeje dengan pandangan asing. Junior tidak mengetahui bahwa wanita ini adalah ibunya, Ibu kandungnya.

"Untuk apa?"

"Untuk segalanya. Untuk dosa-dosa yang sudah kulakukan terhadapmu,"

Aku menatap sendu wajah tirus itu lagi. aku sudah memaafkanmu sejak Oscar bercerita...

"Aku mengerti.." ujarku. "Oscar sudah bercerita,"

"Oscar bercerita? Apakah dia bercerita tentang Dharma?" tanya Jeje.

Aku mengangguk.

"Oscar memang bermulut besar," Jeje tertawa.

Tawanya tidak keluar seutuhnya. Aku dapat membaca keadaan, bahwa ada yang tidak beres dengan Jeniffer, ada yang tidak biasa...

"Well, tapi itulah Oscar," aku memaksakan senyum.

"Oscar sangat mencintaimu Dave. Aku memang sangat jahat, karena telah memisahkan kalian. Tapi sungguh, Oscar sangat mencintaimu,"

"Aku tahu..,"

"Sebenarnya aku mempunyai tujuan untuk datang kesini,"

"Apa?"

Jeje merapikan posisi kain penutup kepalanya, lalu mulai menarik nafas.

"Tentang Dharma?" tanyaku penasaran.

"Tidak. bukan tentang Dharma, Oscar ataupun Junior," ujar Jeje.

Aku memandang wajahnya.

"Ini tentangku,"

"Ada apa denganmu?"

"Aku..." Jeje menarik nafas lagi. "aku."ujar Jeje terbata-bata.

"Ada apa?!"

"Aku terkena kanker serviks Dave," Jeje menangis dan dalam sekejap memelukku.

Aku terkejut tak percaya. Jeje masih muda, bagaimana bisa dia terkena kanker ganas itu?

Ku elus puncak kepala Jeje. Aku bingung harus mengutarakan apa

"Tenang Jeje. Kanker serviks bisa diobati," ujarku menenangkan Jeje.

"Tidak Dave. Aku sudah stadium akhir. Seluruh dokter sudah memberitahu berapa lama lagi waktuku dapat menghirup nafas," isakan tangis Jeje semakin kuat.

Aku semakin terkejut. Ingin rasanya aku menangis bersama Jeje. Menangis dan merasakan seberapa hancurnya hati Jeje saat divonis oleh dokter, bahwa umurnya tidak lama lagi. Aku tak tau harus berkata apa lagi. Aku bingung.

"Satu lagi Dave..," Jeje melepas rangkulannya. Matanya sangat merah.

"Petra itu orang yang baikkan? Aku sudah melihat keadaannya sekarang. Well, aku sangat kasian terhadapnya. Walaupun, aku juga terlihat demikian," Jeje menarik nafas panjang.

Without SunshineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang