PART 24 MELNAS ROZES

89 6 0
                                    

"Kenapa kau ingin sekali meminta bantuan jendral Abraham ? Bukankah dia sudah lama pensiun yang sekarang sudah digantikan sementara jendral Sullivan. Lagipula jendral Abraham sudah tua, bukan pria muda." Rosa tidak mengerti dengan keputusan yang dibuat oleh Roxy. Sebenarnya apa yang ingin direncanakan oleh Roxy dengan menemui Abraham ? Kalau Abraham mau ke istana, lalu apa setelahnya ? Pikir Rosa.

"Justru karena dia sudah tua, pengalamannya dalam menanganani masalah seperti milikmu ini dia pasti bisa membantu kita. Aku bukan memintanya untuk ikut bertarung, aku juga cukup tahu dia sudah tua. Aku hanya ingin memintanya datang ke istana, itu saja. Setelahnya kau akan tahu sendiri bagaimana akhirnya." Dan Roxy sudah berulang kali mengatakan hal yang sama pada Rosa setap kali Rosa menanyakan hal yang sama.

Roxy terus memicu Silva ke arah perbukitan yang sebelumnya pernah dia datangi beberapa hari ini. Sudah tiga hari, dia membujuk jendral Abraham untuk mau membantunya dalam melawan jendral Lamar. Roxy terus-menerus meminta dan memohon padanya agar dia mau mengatakan 'iya' padanya. Tidak masalah kalau sang jendral tidak melakukan apapun, asalkan sang jendral mau datang ke istana di hari yang dia tentukan, dia sudah sangat senang. Baginya kehadiran sang jendral di istana dapat menyempurnakan rencana yang sudah dia susun. Dan sekarang hanya tinggal membujuknya supaya sang jendral mau bekerjasama dengannya.

Sebuah villa yang besar dan kokoh berdiri ditengah puncak bukit. Kastil tersebut didominasi warna hitam dan putih. Seperti biasa, ada penjaga yang berdiri di depan gerbang villa. Tapi, bukan villa tersebut yang menjadi tujuannya, melainkan sebuah pondok berukuran sedang yang letaknya tidak jauh dari villa di arah utara. Roxy masih memicu kudanya dan melewati para penjaga gerbang yang bertugas. Para penjaga memberinya hormat saat Roxy melewatinya.

Pondok yang menjadi tujuan Roxy kini berada di depannya. Seorang pria tua yang mungkin sekarang sudah berusia diatas enampuluhan sedang duduk dikursi malas di depan pondok tersebut dengan sebuah meja disampingnya terdapat nampan berisi beberapa kue dan makanan kecil lainnya dan sebuah teko dengan gelas teh porselin bercorak bunga.

Roxy berhenti dan meletakkan Silva di dekat tumpukkan kayu lalu mengikatnya. Roxy berjalan mengarah pada pria tua itu.

"Kau datang lagi." Ujar pria tua itu dengan suara yang sedikit serak dan mata yang terpejam.

"Ya dan saya tidak akan menyerah sampai anda mau menyetujuinya. Seperti sebelumnya, tujuan saya kemari adalah karena saya ingin anda mau datang ke istana seperti penjelasan saya sebelumnya." Ucap Roxy yang berdiri di samping pria tua itu yang masih asik mengoyangkan kursi malasnya.

"Aku juga sudah bilang kalau aku tidak mau datang ke sana lagi. Aku ingin menghabiskan waktuku yang tersisa dengan tenang." Balas Abraham.

"Tapi, anda sebelumnya adalah jendral besar kerajaan."

"Itu adalah masa lalu, putri. Sekarang aku hanya pria tua biasa."

"Kalau begitu datanglah sebagai tamu. Aku akan membuatkan surat undangan untuk anda agar anda bisa datang ke istana."

"Meski kau buatkanpun, aku tetap pada keputusanku. Tidak kah kau mengerti..." Sang jendral membuka matanya yang sayu tapi tetap terlihat tajam dan tegas melirik Roxy.

"... aku bukan lagi bagian dari kerajaan, hanya rakyat biasa. Aku sudah tidak punya kekuasaan lagi untuk mencampuri urusan kerajaan. Berkali-kali kau datang kemaripun tetap tidak akan ada hasilnya."

"Bagaimana anda bisa memutuskannya kalau anda sendiri belum mengetahuinya ?"

"Karena aku sendiri yang sudah memutuskan apa yang akan terjadi."

Roxy mendengus mendengarkan ucapan sang jendral. Dia sudah tahu bagaimana watak pria tua itu. Keras kepala. Egois. Sama seperti anaknya, Grey. Ya, buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya, kecuali kalau buah itu menggelinding dan di bawa hewan liar. Lupakan.

she is princessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang