***
"...Mengapa kita saling membenci, awalnya kita saling memberi. Apakah mungkin, hati yang murni sudah cukup berarti?..."
Petikan manis nada lagu tempo dulu itu beralun indah keluar dari mulut Juna. Menghampiri Juni dan kedua temannya yang sedang bersantai di kantin sekolah langsung terkejut dengan kehadirannya.
"...Ataukah kita belum mencoba memberi waktu pada logika? Jangan seperti selama ini, hidup bagaikan air dan api..."
Juni melirik sekilas ke arah laki-laki yang masih asik memetik senar gitarnya. Kemudian memalingkan kembali pandangannya saat kedua mata beriris hitam pekat itu menangkap basah Juni.
Laki-laki itu masih berdiri di samping Juni.
"Haaai, Junaaaa!" pekik Cita dengan antusias.
"Hai juga," balas Juna, namun pandangannya tetap mantap menatap Juni yang sama sekali tidak memperhatikannya.
"Boleh duduk disini?" tanya Juna perlahan sambil menunjuk ke bangku kosong yang ada disebelah Juni.
"GAK!" Juni bangkit dari duduknya.
"Bangku ini udah ada yang punya," kedua matanya berputar menyapu seudut kantin,"Jonoooo!" panggil Juni seraya melambaikan kedua tangannya.
Laki-laki yang bernama Jono; berambut klimis, berkacamata tebal, berpakaian serba rapi dan culun, itu pun menoleh. Dan, menghampiri ke arah Juni.
"Sini duduk samping gue!" ucap Juni antusias.
Ia menarik mundur kursi disampingnya dan mempersilakan teman laki-lakinya itu untuk duduk. Membuat Juna harus lebih menggeser tubuh dari posisinya.
Membuat kedua pandang sahabatnya terpaku sulit diartikan.
"Juna, duduk sini aja!" pekik Cita pada Juna.
Juna mengangguk. Dan, segera bergegas duduk di bangku yang kosong disamping Cita.
"Btw, kita belum kenalan. Nama gue..."
"Cita Citatos," celetuk Fira.
"Ih, Fira mah! Kebiasaan," gerutu gadis itu.
Fira hanya memalingkan wajahnya tanpa dosa setelah berhasil menggagalkan perkenalan Cita dengan anak baru itu.
"Ya kan emang bener nama lo Citatos."
"Ih, Fira. Jangan dikasih tau apaaa!"
Cita berdecak kesal setelah salah seorang sahabatnya memberitahu nama aslinya pada Juna.
Nama Cita itu beneran Cita Citatos.
"Gue Juna."
Suara nada baritone yang khas milik Juna berhasil membuat Cita semakin jatuh cinta padanya.
Membuat Cita semakin bertingkah lebay salah tingkah dihadapan Juna.
"Btw, lu udah makan, Juni?" tanya Juna pada Juni.
Yang ditanya hanya diam tak menjawab. Justru mengacuhkan.
"Udah kok, Juna. Gue udah makan."
Alih-alih berharap Juni merespon pertanyaannya, malah Cita yang justru sangat getol menrespon dirinya.
Juna hanya membalasnya dengan anggukan canggung.
"Tadi makan pake apa, Juni?" tanya Juna lagi pada Juni.
"Makan pake mie rebus buatan Pak Jajang, Juna. Enak deh. Lo harus cobaa. Apalagi pake kuah sotonya."
Lagi-lagi, yang merespon dirinya bukannya Juni, tapi Cita.
Merasa suasananya sudah mulai membuat Juni risih, ia akhirnya mengalihkan cerita.
Kini, ia mulai angkat bicara membuka kalimat pertamanya.
"Jono, ikut lomba nyanyi di sekolah gak nanti?" tanya Juni pada Jono.
"Nggak, Juni. Jono kan gak bisa nyanyi," jawab Jono dengan begitu lirih.
"Eh, gue ikut kok, Juni. Lo mau dukung gue, 'kan?" sambar Juna dengan begitu cepat.
Juni terdiam.
Ia bahkan tidak sama sekali merespon Juna yang begitu sangat antusias pada dirinya.
"Jon, nanti pulang bareng, ya?"
"Hah? Juni mau pulang bareng Jono? Yakin?" laki-laki berambut klimis dengan kacamata tebalnya itu menoleh kaget ke arah Juni dengan mulut masih mengunyah mie.
Sesekali, Jono membenahi kacamata tebalnya yang mulai melorot.
Juni menelan ludah kering.
Seakan menyesal akan perkataannya barusan.
"I-iya, Jono," balasnya seraya tersenyum canggung.
"Pulang sama gue aja Juni," sambar Juna tiba-tiba, membuat Juni langsung berdecak kesal.
"Juna pulang sama gue aja," kini, giliran Cita yang menyambar, lengkap dengan gayanya yang begitu centil tidak karuan.
Fira hanya bengong menyaksikan percakapan diantara mereka berempat barusan.
"Woi, gak ada yang mau ngajak gua pulang bareng apa?" ucap gadis itu dengan tiba-tiba.
"Yailah sedih amat yak gua. Mana gak diajak ngobrol daritadi. Sekarang gak ada yang ngajak pulang bareng. Eeeet dah yak, gua kayak laron jomblo disini sendirian," tuturnya panjang lebar sambil mengunyah mie didalam mulutnya.
"Eh, lah, Fir!" Juni seketika tersentak kala ia melihat mangkuk mienya yang sudah kosong.
"Mie gue.. kok kosong?"
Sontak Fira langsung terdiam.
"Ih, gue belom makan perasaan dah!"
"Hehe, Jun sorry ya, gue laper banget. Jadi gue makan deh. Lo pesen lagi aja yak."
Juni tercengang.
"Kecebong arab dasar!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Juna-Juni
Teen FictionAku tidak membenci dia. Aku hanya menganggapnya tidak pernah ada. Itu saja. - Juni Satu hal yang selalu ingin aku lakukan sampai saat ini; meminta maaf padanya. Itu saja. - Juna Hati itu bagaikan cermin, ketika ia retak dan hancur, sebaik apapun us...