***
Juni berdiri disamping motor butut milik Jono. Beberapa kali terlihat sangat gelisah. Sang pemilik motor, Jono, sedang sibuk mengotak-atik mesin motornya yang mati mendadak.
Tersirat rasa tak enak hati kala ia harus membuat Juni menunggunya.
"Juni, maaf, ya?"
Sang empunya nama menoleh kaget.
"Eh? I-iya, gapapa, Jon," jawab Juni dengan mengembangkan senyum simpul yang terkesan canggung.
Beberapa kali ia terlihat sangat masam.
Menunggu itu memang melelahkan.
Jujur, ini sangat tidak mengenakan bagi Juni. Terlebih saat ia harus menunggu disuasana yang sangat membuatnya tidak nyaman.
Namun, nasi sudah menjadi bubur. Tidak mungkin ia menarik kembali kata-kata yang sudah terlontar dari mulutnya siang tadi.
Dan langit mulai menampakkan gulungan-gulungan awan hitam pekatnya. Hawa dingin mulai menusuk kulit melalui kain-kain seragamnya.
Sesekali, ia memeluk tubuhnya sendiri untuk menghilangkan dingin yang menggerogotinya.
"Masih lama, Jon?" tanya Juni dengan nada tidak enak hati.
"I-iya nih Jun kayaknya."
Juni menghembuskan nafas panjangnya.
Matanya menyapu pemandangan didepannya.
Samar-samar, dari kejauhan ia melihat sepeda motor berjenis ninja berwarna merah sedang melaju pelan ke arahnya.
Motor itu berhenti tepat dihadapannya.
Sesosok laki-laki itu menampakkan wajahnya dari balik helm fullface yang dikenakannya.
"Juni?"
Juni tersentak kaget saat ia melihat sang pengendara motor itu adalah Juna. Ia bahkan sudah menyadari sosoknya walaupun ia baru melihat kedua rona matanya yang teduh, pun menajam.
Juni sama sekali tak menghiraukan ucapan Juna. Ia malah melengoskan mukanya ke arah lain.
"Kenapa, Jon?" Kali ini Juna mencoba bertanya pada Jono.
"Mo-motornya mati nih."
"Mau dibantuin?"
"Ng-gak usah, Juna. Makasih."
Juna mengangguk mendengar jawaban Jono barusan.
"Mau bareng gak, Jun?" Kali ini Juna memberanikan diri untuk bertanya pada Juni yang sama sekali tidak menoleh ke arahnya.
"Nggak –"
Belum selesai Juni mengucap kalimatnya, sambaran petir di angkasa mulai menggelegar hebat.
Membuat sekujur tubuh Juni bergidik ngeri. Matanya bahkan membulat kala sambaran petir itu mulai mengudara dengan bebasnya.
"Yakin? Mau ujan, lho," ujar Juna, meyakinkan.
"Juni, pulang aja duluan. Jono gapapa, kok." Kali ini giliran Jono yang angkat bicara meyakinkan Juni.
Gulungan awan hitam itu mulai menurunkan rintik air hujan. Juni hanya memancarkan pandangan bingungnya.
"Jun, gue tanya sekali lagi. Mau bareng apa gak?" tanya Juna.
Juni masih terdiam. Ia bimbang.
"Yaudah kalo gitu, gue gak akan maksa kalo lo gak mau."
Juna sudah bersiap menghidupkan motornya. Dan, mengenakkan helm fullfacenya.
Seketika senyumnya mengembang kala Juni menahan tangannya dan berkata,"Oke, gue bareng lo."
Entahlah bagaimana harus mengungkapnkannya.
Logika selalu berkata; jangan. Namun, teriakan kecil dari dalam hati mengatakan; ya.
Susah jika sudah bicara soal rasa. Kadang, logika dan hati tidak pernah sejalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Juna-Juni
Teen FictionAku tidak membenci dia. Aku hanya menganggapnya tidak pernah ada. Itu saja. - Juni Satu hal yang selalu ingin aku lakukan sampai saat ini; meminta maaf padanya. Itu saja. - Juna Hati itu bagaikan cermin, ketika ia retak dan hancur, sebaik apapun us...