***
Juni berjalan diantara rak-rak buku yang berjejer. Tangannya begerak menyentuh buku-buku yang bahkan tidak ia lihat. Matanya menyapu ruangan perpustakaan yang begitu kosong.
Ia bahkan tidak tahu harus berlari kemana lagi untuk menenangkan dirinya.
Hanya ini satu-satunya tempat yang dapat ia kunjungi.
Berteman dengan sepi.
Sehingga ia dapat menjadi dirinya sendiri tanpa harus berpura-pura memakai topeng bahagia.
Ada alasan mengapa ia begitu membenci dirinya sendiri. Salah satunya; mencintai orang yang sama dengan sahabatnya.
Dan, ada ribuan alasan mengapa ia begitu tak menyukai keadaan ini. Salah satunya; cemburu.
Ingin rasanya ia berlari menjauh ke dalam hutan dan belok ke pantai. Berteriak bak orang hutan. Melepas segala gundahnya.
Ia ingin pergi menjauh dan membuang perasaan yang dianggapnya salah.
Ia menyesali segalanya. Yang membuat dirinya jatuh dalam drama yang ia buat sendiri.
Seharusnya, ia tidak menoleh kala cinta datang menyapa dihari itu.
Seharusnya, ia tidak mengangguk kala cinta menawarkan diri untuk masuk dalam hatinya.
Seharusnya, ia menolak.
Bukan malah membiarkan perasaannya tumbuh dan bersarang hingga sulit dilepaskan.
Seharusnya ia berhenti, untuk selalu berpura-pura bahagia didepan banyak orang. Berusaha untuk membuat orang lain bahagia, sedangkan ia sendiri tak mampu menopang tubuhnya diatas rasa sakitnya.
Seharusnya, ia menyadari kelemahannya.
Bukan malah membuat drama yang berujung luka.
Ia merogoh ponselnya yang ada dalam sakunya. Menggeser lock layar pada ponselnya.
Mengklik menu yang menampilkan beberapa foto antara dirinya dengan Juna beberapa tahun silam.
Matanya kembali berkaca. Ribuan tusuk gigi seolah menancap ke dalam hatinya. Membuatnya terasa amat perih.
"Juni.."
Sebelum akhirnya sapaan suara itu membuyarkan lamunannya. Memaksanya menahan airmatanya untuk kembali terbuang.
Perlahan, Juni membalikkan badannya sambil menarik nafasnya yang terasa berat.
"Fi-fira?" Juni menoleh kaget.
Fira menarik tangan Juni untuk menyuruhnya duduk di sebuah bangku kosong.
Mencoba untuk menatap mata sahabatnya dalam-dalam. Berusaha mencari kebenaran diantara banyaknya kebohongan yang Juni mainkan.
"Are u ok?"
Juni memaksakan lidahnya yang begitu keluh untuk berbicara.
"Ya, gue gapapa. Kenapa emangnya?" jawabnya sambil berusaha tenang, meskipun tetap terdengar bergetar diujung kalimatnya.
"Gapapa. Gue ngeliat lo kayaknya lagi banyak masalah."
"Hah? Ng-nggak. Gue gapapa, kok."
Fira menghela nafasnya, tangannya yang besar menepuk pundak Juni.
"Gue tau elo. Lo gak akan menyendiri kayak gini kalo gak karena ada masalah."
Skakmat.
Juni seolah sudah salah langkah. Dan, harus memulai langkah yang baru untuk memainkan topengnya dengan baik.
"Gue kangen Mama."
Juni memang pemain drama yang baik. Namun, tidak cukup baik untuk menjadi seorang pembohong.
Diantara banyaknya alasan yang dapat ia lontarkan, sepertinya hanya alasan ini yang dapat diterima dengan baik oleh sahabatnya tanpa banyak perlu bertanya lebih lanjut.
Meski memang sebenarnya, Juni memang merindukan sang Mama berada disisinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Juna-Juni
Teen FictionAku tidak membenci dia. Aku hanya menganggapnya tidak pernah ada. Itu saja. - Juni Satu hal yang selalu ingin aku lakukan sampai saat ini; meminta maaf padanya. Itu saja. - Juna Hati itu bagaikan cermin, ketika ia retak dan hancur, sebaik apapun us...