#32

1.4K 52 4
                                    

***

Juni turun dari tangga rumahnya dengan gontai. Dengan bantuan Cita, ia berjalan menyusuri anak tangga rumahnya satu per satu.

"Juna?"

Matanya mendelik saat melihat sosok laki-laki itu sudah ada dihadapannya beserta dengan sang Mama, Rani.

Juni berdiri terpaku. Ia bahkan tidak tahu harus berbuat apa.

Kembali memakai topengnya dan menganggap tidak terjadi apa-apa, atau...

"Juni."

Rani memeluk tubuh anak gadis yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri itu.

"Maaf."

"Buat apa, Tante?"

"Maaf, kalo Juna selama ini membuat kamu selalu dalam masalah."

Juni melirik ke arah Juna yang masih menatapnya lekat-lekat.

Juni tersenyum,"Gapapa."

Rani melepaskan pelukkannya dan mundur beberapa langkah ke belakang.

Kini, giliran Juna yang mendekati Juni dengan tatapan teduh penuh rasa bersalahnya.

"Gue mau minta maaf. Atas semua ucapan yang lo bilang kemarin. Iya, gue emang pembuat onar. Tapi, bahkan gue bener-bener jatuh cinta dan sayang sama lo tulus apa adanya."

Juni menggigit bibir bawahnya. Mendengarkan kata demi kata kalimat yang terucap dari mulut Juna.

"Gue emang bukan laki-laki yang baik. Tapi, gue bakal berusaha jadi lebih baik, Juni. Gue emang hidup penuh dengan sikap yang complicated. Maka dari itu gue butuh lo untuk ngebuat gue jadi lebih baik."

"Lo inget hari dimana gue pernah nembak lo dan bilang april mopp? Sebenernya itu adalah ungkapan dari hati gue yang paling dalem. Cuma, waktu itu gue gak berani buat bilang. Bukan saat yang pas."

"Juni, gue Cuma mau bilang kalo gue sayang sama lo. Gue gak peduli nantinya lo bakal nolak gue dan gue harus kehilangan lo. Yang penting, gue pengen lo tau perasaan gue yang sebenernya."

Juni masih tak bergeming.

Terlebih saat ia melihat sekeliling. Terlalu banyak pasang mata yang memperhatikannya.

Juni melangkahkan kakinya ke arah Rani yang masih berdiri mematung. Menyaksikan dua anak mudanya yang terlihat serasi baginya.

"Tante?"

"Iya, Sayangku Juni."

"Makasih."

"Buat?"

"Walaupun sebenernya Juni marah banget sama Juna. Walaupun Juna selalu buat kesel Juni. Walaupun dia selalu bikin onar. Tapi, dia juga yang selalu bikin Juni nyaman dan tenang kalo lagi inget Mama sama Papa. Juni sadar, gak seharusnya Juni menghukum Juna sejauh ini untuk kesalahan yang bahkan bukan maunya dia. Juni sadar udah saatnya Juni berdamai sama takdir."

"Gak seharusnya juga Juni jadi orang pembenci," jelas Juni.

"Mungkin kepergian Mama, Papa, dan Kak Rangga memang sudah jadi suratan. Juni minta maaf udah mengacuhkan Tante dan Juna selama beberapa waktu silam."

"Juni, gak apa-apa, Sayang. Wajar kalo kamu marah dan gak menerima keadaan. Tante ngerti," balas Rani seraya mencium ujung kepala gadis itu penuh kasih sayang.

"Oh, iya, Tante makasih, ya. Karena Tante udah ngelahirin anak senakal Juna. Yang udah buat Juni gak bisa tidur mikirin dia. Bilangin sama Juna, kalo Juni juga sayang dia."

Seketika, semua tersenyum mendengar kalimat Juni barusan.

Juni tenggelam dalam pelukan Rani, disusul dengan pelukkan Juna yang ikut nimbrung.

Pun, ketiga sahabatnya.

Mereka tersenyum bahagia.

Tak terkecuali; Cita.

Meski ia harus menahan sakit karena cintanya yang ternyata tidak pernah terbalas. Namun, ia ikhlas.

Cinta itu lebih dari sekedar hubungan status. Ada hal yang lebih penting; balasan dan kepastian.

Cinta bukan cenayang yang dapat menebak isi hati seseorang. Bukan cenayang yang dapat membaca kode yang terlewatkan. Cinta adalah rasa, yang membutuhkan keberanian untuk mengungkapkan meski ia tahu akhirnya tak ada balasan.

Lepaskan, jika cinta itu menyakitkan.

Tak ada hal yang lebih menyakitkan selain tertusuk sesetan kayu yang masuk ke dalam lapisan kulit yang menyisakan nyeri, selain mencintai tanpa balasan dan tanpa kepastian. Bagaikan terombang ambing ombak di lautan sambil menunggu sang penolong. Perlahan akan mematikan.



*


"Jika kamu cinta, ungkapkanlah. Setidaknya kamu pernah berjuang meski akhirnya terluka atau justru berakhir bahagia." – Juna

"Cinta hanya butuh keberanian. Keberanian bertindak, keberanian mengungkapkan, dan keberanian untuk bertanggung jawab atas semua yang ia ucapkan nantinya." – Juni


Juna-JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang