#8

846 67 0
                                    

***

Mata Juni terbelalak kala ia tiba di depan rumah yang ia yakini bukan rumahnya.

Ia menoleh ke arah laki-laki yang sibuk melepaskan jaket yang ia kenakan.

Ditariknya lengan gadis itu sambil memayunginya dengan jaket dibawah hujan yang juga tak kunjung berhenti.

Hingga langkah kaki keduanya berhenti tepat di depan pintu berwarna putih elegan itu.

Perlahan, suara pintu terbuka pun terdengar.

Keduanya menoleh.

"Sayangku Juni.."

Terdengar suara seorang wanita paruh baya yang memanggil nama gadis itu dan menariknya ke dalam pelukan.

"Ya ampun sayangku, udah gede aja sekarang. Tante kangen.."

Juni terdiam dan tenggelam dalam pelukan hangat wanita yang menyebut dirinya; Tante.

"Kamu keujanan ya, sayang? Yaudah masuk dulu, ya. Tante bikinin minuman biar gak dingin."

Wanita paruh baya itu melepaskan pelukkannya dan membawa Juni masuk ke dalam rumahnya.

"Juna, kamu juga!"

Juni masih terdiam. Bingung. Tercengang. Canggung.

Tidak tahu harus berbuat apa.

*

Setelah mendapatkan pakaian ganti yang nampak kebesaran, Juni menenggak wedang jahe hangat yang dibuatkan oleh tuan rumah.

"Kamu tinggal dimana sekarang, sayang?"

"Masih di tempat yang lama, Tante," Juni menenggak teguk demi teguk wedang jahe yang dirasa nikmat saat menyentuh lidahnya.

Membuat segala rasa dingin itu hilang hanya dalam sekali tegukkan.

"Juni makin cantik ya Na sekarang."

Kalimat barusan membuat Juni tersedak seketika.

Ia menoleh ke arah laki-laki yang bahkan sedang asik memandanginya tanpa rasa bersalah. Juni memicingkan matanya.

"Iya, Ma. Juni emang selalu cantik," balas Juna seraya tersenyum.

Juni hanya membalasnya dengan wajah tersipu. Rona merah muda wajahnya yang muncul tidak dapat ia hindari. Ia nampak terlihat salah tingkah.

"Juni sudah punya pacar?"

DEG.

Juni tersentak.

Ia diam sejenak sambil menarik nafasnya agak lebih dalam dari biasanya.

"Belum, Tante," jawabnya lirih dengan nada sedikit ragu-ragu.

Jantungnya mendadak berpacu 2 kali lipat lebih cepat dari beberapa detik yang lalu. Ia bahkan dapat merasakan dengan jelas aliran deru nafasnya yang juga tidak beraturan dibuatnya.

"Juna juga belum, Jun."

Juni tersedak, lagi.

"Mama! Udah ih. Ngeledekin Juni mulu. Kasian, Ma."

"Ya abisnya kamu kan tahu dari dulu Mama –"

"Maa.."

"Iya, iya, nggak, Juna."

Juna membenahi posisi duduknya dan menyeruput segelas wedang jahe yang ada dihadapannya dengan sangat tidak sabaran.

"Aw, panas."

Juna melepaskan gelas wedang jahe dan meniup-niup jarinya yang kepanasan.

"Makanya hati-hati, Juna! Gak usah grogi gitu didepan Juni."

"Ih, Mamaaa!"

"Juna, kamu pake blush-on Mama, ya?"

"Hah? Yakali, Ma. Emang Juna cowo apaan?"

"Ituuu buktinya pipi kamu merah kalo denger nama Juni."

"Ih, Mama! Astaga. Udah, Maaa. Udah, ah."

Juni termenung. Menyaksikan anak dan ibunya bertengkar ringan barusan.

Sudut bibirnya mengembang.

Rasanya ia baru saja tersadar dari tidur lelapnya selama 1 tahun belakangan ini.

Ada rasa yang membuatnya begitu bahagia hari ini, rasa yang dulu sempat menghilang sekian lamanya.

Selama ini, ia berusaha untuk mengubur rasa itu bersamaan dengan luka yang ia terima.

Tapi, hari ini, rasa itu seakan kembali pulang. Mengisi ruang hati juga bagian hidup Juni.

Terasa lengkap.

Segelas wedang jahe dan kehangatan tawa serta canda.

Dan, Juna.



Juna-JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang