***
Seperti biasa, setiap pagi di taman komplek rumahnya, Juni duduk menikmati embun pagi yang perlahan menghilang.
Ia mengetuk-ngetukkan jarinya diatas buku yang sejak tadi ia pegang.
Samar-samar, matanya menangkap bayangan laki-laki yang berlari terengah-engah ke arahnya.
"Telat lagi," ucap Juni datar.
"Sorry, Jun."
Percakapan seperti ini sudah biasa bagi Juni disetiap paginya. Andra selalu saja telat menghampirinya. Padahal rumahnya tepat berada di depan taman komplek.
Tidak perlu naik kereta, pesawat, atau pun gojek. Seperti yang selalu Andra ucapkan.
Dan, Andra selalu memiliki alih-alih yang ia ucapkan untuk mengelak.
"Apa lagi alesan lo hari ini?"
"Biasa, pesawat gue abis bensin, Jun."
Juni berdiri dari duduknya dan menggelengkan kepalanya,"Ngelem lu, ya?"
"Astaghfirullah, Juni. Omongannyaaaaaa."
"Udah, ah. Ayo, jalan. Telat nih!"
"Iya, eyang Juni. Jangan sampe gue diajak manjat pager lagi."
"Tapi enak, 'kan?"
"Terserah lu aja, cele-cole."
*
Hari ini, Juni dan Andra bisa bernafas lega. Pasalnya mereka tidak terlambat dan tidak harus memanjat pagar lagi.
Ditengah langkahnya menuju kelas, Andra membuka percakapan antara dirinya dan Juni.
"Gimana tidurnya semalem, Jun?" tanya Andra.
Juni terus mengunyah permen karetnya sampai rasa manisnya tidak lagi terasa.
"Ya biasa aja. Emang maunya gimana?"
"Maksud gue, lu mimpiin gue gak?"
"Emang penting banget ya Ndra gue mimpiin lu? Penting? Ada di uud gak gue harus mimpiin lu? Pasal berapa? Ayat berapa? Terus apa keuntungannya gue mimpiin lu?"
Andra terdiam sejenak. Menggelengkan kepalanya mendengar Juni mencecar dirinya dengan pertanyaan konyolnya.
"Buset, bawel banget kayak beo gak dikasih makan setahun. Ck!"
"Ya lagian elo. Nanyanya begitu."
"Ya kan maksud gue –"
"Apa?"
"Itu –"
"..."
"Ah, susah emang ngomong sama jomblo," umpat Andra kesal.
Juni hanya melongo melihat tingkah sahabatnya yang semakin membuatnya tak mengerti.
"Ya lo kan juga jomblo, njir," gerutu Juni pelan.
"Jonas, lu."
Juni menoleh.
"Jomblo Na'as!" umpat Andra sekali lagi pada sahabatnya, Juni.
"Dih! Lo kenapa sih? Anda sakit ya? Apa kepalanya abis kebentur?"
"Iya. Gue meriang."
"Serius?"
Seketika, mata Juni membulat. Ia terlihat sangat panik mendengar sahabatnya yang satu itu sakit.
"Iya..."
"Meriang. Merindukan kasih sayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Juna-Juni
Teen FictionAku tidak membenci dia. Aku hanya menganggapnya tidak pernah ada. Itu saja. - Juni Satu hal yang selalu ingin aku lakukan sampai saat ini; meminta maaf padanya. Itu saja. - Juna Hati itu bagaikan cermin, ketika ia retak dan hancur, sebaik apapun us...