#29

592 44 0
                                    

***

"Juni, maaf kalo buat lo jadi marah."

"Gue gak pernah marah atau benci sama lo. Gue udah pernah bilang 'kan lo cukup menjauh dari hidup gue. Biar semua luka itu terkubur dalam dan gak pernah gue inget lagi," ujar Juni lirih.

Juna terdiam. Ia melepaskan pelukkannya.

Dengan wajah penuh derai airmata, Juni melangkahkan kakinya mundur.

"Jangan lagi deketin gue, Juna."

"Gue gak bisa."

"Please.."

"Nggak, Juni. Gak akan pernah lagi."

Juna kembali menarik lengan Juni dan berusaha merengkuhnya kembali dalam pelukkannya.

"Lepasin gue, Juna!" teriak Juni kencang.

"Gak akan, Juni. Gue sayang sama lo. Dan, gue gak akan melepaskan lo lagi untuk alasan apapun. Ngerti?"

Sontak, kalimat barusan membuat Juni dan ketiga sahabatnya kaget. Begitu pun Cita.

Cita harus menahan nafasnya lebih lama mendengar pertanyaan barusan.

"Gue sayang sama lo. Gue gak mau kehilangan lo lagi, Juni Arntika."

Jujur, pernyataan dari Juna barusan bagaikan jarum yang masuk ke dalam rongga dadanya.

Kecil, namun menyakitkan.

Juni menolehkan pandangannya ke arah Cita dan kedua sahabatnya yang masih memperhatikan mereka.

Seakan kaget dan tak percaya kala kalimat-yang-hampir-mustahil itu terlontar dari mulut Juna.

"Juni.." Juna menarik tangan Juni pelan.

Pandangan Juni masih mengarah pada Cita, sahabatnya sekaligus kekasih Juna saat ini.

"JUNA! PLEASE STOP!" pekik Juni seketika.

"Gue udah gak mau kenal sama lo lagi. Gue-gak-mau! Lo bilang udah berubah? Tapi, nyatanya apa? Lo masih suka berantem."

"Maaf, Jun.."

"Gue benci sama lo!" Kalimat itu terlontar dengan begitu saja dari dalam mulut Juni.

"Lo udah merenggut kebahagiaan gue. Lo buat keluarga gue berantakan. Gara-gara ulah lo berantem, lo buat nyawa Mama, Papa, dan Kakak gue melayang. LO LUPA?"

Juna tersentak. Ia terdiam. Membisu seribu bahasa.

"Lo udah buat gue gak punya siapa-siapa, Juna! Lo buat hidup gue sebatang kara kayak sekarang. Dan, sekarang lo dateng seenak hati lo minta maaf dengan gampangnya? Apa karena maaf lo itu bisa buat bokap-nyokap sama kakak gue balik? Nggak 'kan?"

Ribuan rasa bersalah itu kembali datang memenuhi diri laki-laki itu.

"Gue benci sama lo, Juna."

Udara sejuk pagi itu berganti menjadi engap. Tak enak untuk dihirup. Menyisakan luka didalam dada.

Juni berlari menjauh dari kejadian yang membuat memori kenangan mengerikan yang menimpa keluarganya itu kembali terkuak.

Ia bahkan tak lagi menghiraukan orang-orang yang memandang aneh dirinya yang berlari sambil berurai airmata.

Ingin rasanya ia berlari ke pelukkan sang Mama, untuk menghilangkan segala gundah dan menetralkan segala benci yang memuncak saat ini.

Ingin rasanya ia mengadu pada sang Kakak, untuk membantunya melupakan segala luka yang ia rasakan saat ini.

Ingin rasanya ia mencari sang Papa, untuk berkata bahwa putri kecilnya sudah disakiti.

Dunia yang begitu keras ini sudah menjadikannya Juni yang penuh dendam dan benci.

Ini bukan Juni yang dulu. Yang hanya dapat tersenyum meski disakiti dan dibully. Ini bukan Juni dibeberapa tahun silam.

Juni yang sekarang adalah Juni yang sudah dibentuk oleh alam.



Juna-JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang