Chapter 27. Scissors

723 91 2
                                    

Lyce's POV 

Aku merasakan hal yang aneh menurutku. Jantungku berdebar begitu kencang, namun dengan cara begitulah rasa sakit yang begitu dalam kurasakan. Aku tidak mengerti maksud dari apa yang telah terjadi. Yang tertinggal hanyalah sakit yang akupun tidak dapat menjelaskan mengapa aku dapat merasakan hal tersebut.

Aku tidak mendapati Harry kembali dari dapur dalam waktu yang cepat. Tapi, lebih baik begitu. Aku menatap kearah dinding, mencoba mencari tau apa yang aku rasakan, mengapa sakit ini hidup didalam diriku.

Handphoneku bergetar diatas meja. Aku harus berpikir dua kali untuk mengangkatnya karena rasanya, bukan waktu yang tepat untukku mengangkat telepon. Aku tidak dalam kondisi yang baik saat ini. Namun, aku mengangkatnya tanpa mengucapkan kata pembuka, hanya untuk berjaga-jaga.

"Lyce?"

"Ya."

"Aku merasa ada yang berjalan dengan tidak baik, apa kamu baik-baik saja?"

"Ya."

"Mana Harry?"

Aku tidak menjawabnya. Hanya memberinya gelengan kepala meskipun ia tidak dapat melihatku dari sana.

"Oh tidak." Ucapnya, dengan cepat menutup telepon.

Aku menaruh handphoneku diatas meja. Menunggu Harry untuk kembali dari dapur bukanlah hal yang besar jika ia tidak melupakan semuanya dan hal yang baru saja terjadi diantara kami. Kejadian tadi tidak terulang dipikiranku, hanya membekas dengan baik.

"Lyce." Ucap seseorang dibelakangku. Aku menengok kearahnya. Aku dapat melihatnya yang mengigit bibir dalam bagian bawahnya, yang biasa aku lakukan namun menjadi salah satu kegiatan barunya.

"Terimakasih atas waktunya. Aku harus pulang." Ucapnya lagi.

Aku menutup kedua mataku sambil memijat keningku secara perlahan. Rasanya merelakannya untuk pergi tidak menghilangkan rasa sakit yang aku rasakan. Aku hanya berhasil menganggukkan kepalaku tanpa membuka kedua mataku. Melihatnya pergi bukanlah hal yang aku inginkan.

Aku mendengarnya berjalan melewatiku untuk mengambil barang-barang miliknya. Langkahnya semakin jauh yang aku ketahui ia mengambil jaketnya yang belum sepenuhnya kering. Hari memang sudah malam dan tentu ia akan kembali ke rumah sakit atau kerumahnya namun, aku hanya tidak menduga kami akan sedekat itu. Diantara kami akan terjadi hal tadi. Aku hanya belum bisa mencernanya dengan baik, apakah itu baik bagi kami berdua, salah satu dari kami, atau tidak untuk keduanya.

Aku mendengar suara kunci yang diputar dan suara gagang pintu yang berbunyi diiringi suara pintu rumah yang terbuka karena ditarik. Aku tidak mendengar kata-kata perpisahan yang biasanya ia ucapkan sebelum pergi. Yang biasanya ia terus ucapkan tanpa melakukan apa yang ia ucapkan. Ia akan terus meminta izin untuk pulang tanpa pulang. Rasanya hal itu selalu terjadi. Aneh rasanya karena hal itu tidak terjadi.

Tanganku mulai bergetar menutupi wajahku. Setelah mendengar suara pintu yang tertutup dan langkah kaki yang benar-benar menjauh, menghilang digantikan oleh suara rintikan hujan, air mataku mendesak untuk keluar dari sisi kedua mataku, membuat tubuhku ikut bergetar dengan hebat karena aku sulit mengambil nafas. Aku cukup kehilangan kendali pada tubuhku untuk beberapa saat. Melepaskan apapun yang aku rasakan benar-benar hal yang menurutku patut aku lakukan untuk saat ini.

Ditengah-tengah tarikan nafasku setelah menenangkan diriku, kuputuskan untuk berjalan ke dapur. Aku mencari gunting yang aku temukan tergantung di paku yang Ayah buat. Aku mengambilnya, namun karena tidak memiliki kekuatan untuk berdiri, aku menjatuhkan diriku ke lantai. Gunting yang aku ambil terasa berat namun aku tidak dapat melihatnya karena desakan air mata di mataku belum lelah untuk keluar. Aku membuka gunting menjadi dua, membuat mata gunting menjadi bentuk sembilan puluh derajat. Aku menaruh tangan kananku dibagian mata gunting yang berbentuk horizontal dan menaruh tangan kiriku dimata gunting yang berbentuk vertikal. Aku menutup kedua tanganku, mengepalkan kedua tanganku dengan seluruh kekuatan yang masih aku miliki, membalut mata gunting dengan telapak tanganku. Aku tidak dapat merasakan rasa sakit yang harusnya aku rasakan, hanya darah yang keluar dari kulitku karena gunting yang kupakai adalah gunting kain yang dulunya sering Ibu gunakan. Dengan salah satu mata gunting, aku menggoreskannya ke pergelangan tanganku setelah aku rasakan kekuatanku habis untuk menekankan telapak tanganku pada mata gunting. Tidak begitu dalam, namun cukup membuang waktuku untuk melupakan Harry.

Girl Almighty // h.sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang