Harry's POVAku tidak pernah mengerti apa yang ada pada diri Lyce. Bayangkan ia selalu menyakiti orang karena ia tidak ingin disakiti. Lyce harus menyadari bahwa hal ini benar benar tidak baik untuk siapapun. Aku tidak tau mengapa ia menjadi seperti ini. Aku percaya bahwa kemampuannya untuk masuk ke dalam alam sadar orang hanyalah sesuatu yang membuatnya istimewa. Namun jika ia memberitauku bahwa hal ini untuk perlindungannya, aku tidak bisa terima.
Aku hanya ingin yang terbaik untuk Lyce karena aku tau Lyce butuh bantuanku. Dan Lyce sudah mempercayaiku. Dan lagi aku sudah jatuh cinta padanya dari hari pertama kami bertemu dan aku tidak akan pernah meninggalkan Lyce bagaimanapun keadaannya. Namun jika aku tidak membuat gertakan agar Lyce sadar dan mencoba untuk mengurangi sikapnya dalam menyakiti orang, Lyce akan terus dijalan yang salah.
Keesokkan harinya, aku menunggu Lyce didepan kelas dan memperhatikannya dengan serius. Tidak ada seorangpun yang merasa kesakitan saat ia melewati lorong loker. Lalu ia melewatiku didepan pintu kelas dan aku mengikuti dibelakangnya. Aku sengaja tidak terlalu banyak bicara padanya karena dengan Lyce aku harus sabar. Banyak bicarapun tidak mampu mengubah apapun pada diri Lyce. Ia hanya mendengarnya beberapa saat lalu melupakannya. Pada jam pulang sekolah, aku mengambil tasnya dan memintanya untuk mengikutiku ke taman sekolah. Ia mengangguk kecil dan mengikutiku tanpa memberontaka dan wajah yang dingin.
"Lyce, aku tidak akan pergi. Namun jika kamu tidak berusaha untuk tidak menyakiti orang, aku tidak tau mengapa aku disini." Ucapku mengawali pembicaraan.
"Pergi kalau begitu. Aku tidak pernah memintamu untuk tinggal dari awal." Ucap Lyce dengan datar.
"Masalahnya aku tidak bisa melakukannya. Alasannya? Karena aku terlalu percaya bahwa aku akan berhasil membantumu untuk melewati semua ini." Ucapku membuatnya menatap mataku.
"Aku berusaha namun aku tidak bisa." Ucap Lyce lemah.
"Lalu coba lagi. Jika kamu memberitau segalanya padaku, itu akan membantu. Dan lagi, ini baru percobaanmu yang ke beberapa kali. Hal ini perlu pembiasaan." Jelasku.
Aku melihatnya menghela nafas dan mempertimbangkan apa yang aku katakan. Ia sempat menata mataku namun ia membuang tatapan itu ke arah rumput. Jika ia tidak memberitauku segala hal yang telah ia lewati, aku akan bersikap pesimis padanya dan berharap itu akan membantuku agar dia menceritakan segalanya.
"Setelah Ibuku tiada, aku memiliki hal semacam ini. Ayah tau soal ini sehingga ia tidak pernah membahas kematian Ibu didepanku namun ia mencari Ibu baru untukku. Disaat itu aku merasakan sakit untuk pertama kalinya dan membuatku kehilangan kendali. Aku takut. Segala ketakutanku datang kepadaku dengan serempak. Aku tidak tau rasa takut apa itu namun aku benar benar ketakutan. Karena hal itu, aku menyakiti orang yang menatapku dengan bukan atas kehendakku. Rasa bersalah yang aku pendam terhadap kematian Ibu membuatku terkadang tidak merasa bersalah atas kematian atau kesakitan orang lain." Jelasnya, membuatku merasa bahwa aku benar benar tau perasaannya dan semua ini berhubungan denganku.
"Orang orang tidak ada yang menemaniku dan sebenarnya itu bagus karena aku tidak bisa disakiti. Saat bertemu denganmu, harusnya kamu membenciku seperti yang lain. Tapi tidak, membuatku berpikir bahwa aku dapat merasakan rasa sakit lagi. Dan setiap hal yang berdekatan denganmu, aku tidak bisa mengendalikan diriku. Jadi aku terus berpikir ulang apa yang harus aku lakukan dan tidak salah dimatamu." Jelas Lyce dengan suara yang lembut. Aku hampir tidak percaya Lyce bisa menjadi orang yang seperti ini.
"Bantu aku untuk mencari apa yang meredakan sedikit ketakutanmu." Ucapku langsung menemukan apa yang harus aku lakukan pada Lyce.
"Tidak perlu. Aku sudah tau." Ucap Lyce pelan.
"Apa?" Tanyaku.
"Siapa. Kamu." Jawab Lyce dengan wajah yang datar.
"Bagaimana bisa aku dapat menghilangkan ketakutanmu?" Tanyaku lagi.
"Tidak tau. Jika aku disampingmu aku selalu berusaha untuk tidak kehilangan kendali. Berpikir bahwa kamu akan pergi itu menyakitkan. Jadi jika kamu ingin pergi, pergi saja. Sakit sekarang lebih baik dibanding sakit nanti." Ucap Lyce serius.
"Tidak untuk kesekian kalinya. Bagaimana kamu begitu yakin bahwa akulah yang membuatmu seperti itu?" Tanyaku.
"Aku pernah melewati hal ini beberapa kali. Dan selalu berakhir seperti itu. Hal yang tidak aku inginkan. Aku lebih baik kehilangan dirimu sekarang tapi bukan karena ulahku dibanding kehilanganmu nanti karena ulahku." Jelas Lyce lagi.
Aku tidak punya kata kata untuk diucapkan. Kami berdua membutuhkan bukti. Jadi kuputuskan untuk maju ke arahnya dan memeluknya dengan erat. Aku tidak perduli jika ia tidak membalas memelukku namun saat itulah aku merasakan tangannya melingkar di pinggangku. Aku melihatnya menutup mata membuatku tersenyum melihatnya.
"Harry!" Panggil seseorang. Aku menengokkan kepalaku dan teman sekelas kami, Leora memanggil.
"Rasanya aneh." Ucap Lyce seperti bicara pada seragamku.
"Tidak mau lepas ya?" Tanyaku menggodanya. Lyce memukul tanganku dalam artian bercanda dan mundur beberapa langkah menjauhiku.
"Akhirnya Lyce membalas memelukku." Gumamku dengan cukup keras membuat pipi Lyce merona. Sungguh, jika teman kami ini tidak berjalan menghampiri kami, sudah kubuat aku dan Lyce kabur untuk menghabiskan waktu berdua.
"Harry, bantu aku mengerjakan PR." Ucapnya dengan nafas yang terengah engah.
"Tapi-"
"Tapi kalau besok aku yakin kamu tidak bisa." Ucapnya lagi.
Lalu aku menengok ke arah Lyce yang sudah memperhatikan Leora. Aku melihat lampu taman yang berkedip kedip dan aku pikir Lyce akan melakukan sesuatu. Udara disekitar kami mulai berubah menjadi tidak enak. Dengan cepat, aku meraih tangan Lyce dan berkata,
"Aku ada urusan dengan Lyce, nanti aku akan bantu kalau bisa." Ucapku dengan senyum.
"Uh murid baru. Salam kenal." Ucap Leora.
Leora memutarkan bola matanya yang benar benar kami lihat dengan jelas dan pergi meninggalkan kami. Lampu taman tidak berkedip kedip lagi dan keadaan berubah total menjadi sebelum Leora datang. Aku tersenyum melihat Lyce bahwa memang benar akulah orangnya.
"Sekali ya Harry." Ucap Lyce seketika dan dengan beberapa detik, terlihat dari kejauhan Leora tersandung sebuah pot bunga dan terjatuh memecahkan beberapa pot bunga yang ada disekelilingnya.
"Apa yang kamu lakukan Lyce?" Tanyaku terkejut. Aku pikir ia akan berusaha untuk tidak menyakiti orang lagi.
"Setidaknya, ia tidak aku tabrak dengan gerbong kereta." Ucap Lyce datar.
Enjoy the story? Vote and comment x
KAMU SEDANG MEMBACA
Girl Almighty // h.s
Fiksi PenggemarHarry Styles: God knows why I fell in love with her. Queenlyce: Nothing's better than him. P.S. Edited