twentysix clash.

1.8K 113 0
                                    

'Cause nothing can ever, ever replace you. Nothing can make me feel like you do. You know there's no one, i can relate to. And know we won't find a love that's so true.

Alfian POV

Gue merebahkan diri gue di sofa rumah kedua gue yang sebenernya (bukan ruangan Raisa.) Sofa ini terlalu empuk buat gue tinggalin. Dam gue rasa gue mau tidur di sini.

"Woy sadar mas. Bangun." Ucap pemilik rumah ini membangunkan gue sambil menepuk nepuk bahu gue.

Gue menatapnya malas. Dasar ga pengertian. Mata gue sembab mana kantong matanya tebel banget. Gue ga tau gue bisa selemah dan seboyo ini. Kenapa bisa gue nangis?

Oke. Nangis itu sehat.

"Okey tidur di kamar gue." Ucapnya berjalan ke arah kamarnya.

Sumpah kamar dia dingin banget. Pw abis. Abis abisan. Kamarnya kayak gelap gitu. Tapi jadinya tenang. Dia gamers yang sangat sejati. Jadi di sini ada tv buat game. Bukan nonton.

Gue membanting diri gue di kasur empuknya dan sedikit mengerang saat mengetahui gue meniban psnya. Gue menaruh ps dan barang barang lainnya yang harusnya ada di kasur ke karpet.

Masa bodoh. Gue bener bener ngantuk sekarang. Bahkan gue berfikir apa rumah gue udah di jampe jampe ya biar gue susah tidur.

Di rumah orang lain atau tempat yang memenuhi kriteria kasur tidur gue pasti gue langsung tidur.

Mata gue tertutup dan mengistirahatkan pikiran gue. Untuk beberapa saat gue merasa gue bukanlah orang yang complicated.

Di mimpi, gue merasa gue hanya seorang Alfian Fadlika murid Vancy kelas IPS XI-C. Laki laki yang sama seperti sebayanya. Gue lebih banyak main daripada belajar.

Namun bukan remaja yang mengikuti balapan liar, taruhan, dan memainkan perempuan. Hanya laki laki yang memiliki hobi main futsal bukan balapam seperti orang kebanyakan.

Hanya laki laki yang mencintai seorang perempuan sampai menikah. Memiliki dua anak laki laki dan perempuan, melihat mereka tumbuh dengan bahagia lalu meninggal dengan damai.

Gue lebih baik tinggal di mimpi daripada tinggal di kenyataan kalau kenyataan gue complicated begini.

Ah coba kalian pikir. Tidur saja gue masih memikirkan hal berat begini.

???

"Dhafin." Panggil gue ketika mata gue mengerjap beberapa saat setelah bangun dari tidur gue yang menyenangkan.

"Oh, akhirnya bangun. Gue kira lo mati." Ucapnya cuek sambik memainkan psnya. Karena sebal gue melemparnya dengan botol dari atas nakas.

"Ini jam berapa?" Tanya gue mengamati kamar Dafin. Gila di kamar segede ini dia ga masang jam satu pun.

Dafin melepas stik psnya lalu membuat tangannya menjadi sembilan walau masih fokus sama tv.

"Gue tidur berapa jam? Ih niat gue kan kesini mau cerita. Bukan mau tidur." Gerutu gue yang kini sudah dalam posisi duduk namun masih mengerjap.

"Eh kebo, gimana gue mau bangunin lo. Kantong mata lo aja tebel banget. Apa kurang cukup tidur 9 jamnya?" Ucapnya sarkas disertai geram.

THS [3] InfinetoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang