Part 4

5.6K 257 5
                                    

"A! Táo nǐ lái, zuò xià. Tā shì shuí? Tā shì nǐ nü péng you?" (Ah! Tao kau datang juga, duduklah. Dia siapa? Apa dia kekasihmu?)

"Méiyǒu bàba kàn kàn tā zhǐshì wǒ de péngyǒu."(Tidak papa dia hanya temanku.)

Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Namun, dari cara dia menatap pria itu sepertinya mereka adalah ayah dan anak. Edi menarikku untuk duduk di kursi yang berhadapan dengan seorang wanita cantik. Kulitnya yang putih bersih serta matanya yang sipit, mirip seperti Edi. Aku tahu pasti wanita itu adalah ibunya Edi.

"Nǐ jiào shénme míngzì?"(Siapa namamu?)

Aku menautkan alisku tidak mengerti apa yang dikatakan oleh ibunya.

"Māmā, tā bù míngbái nǐ shuō shénme"(Mama, dia tidak mengerti ucapanmu.)

Wanita itu tersenyum lalu kembali menatapku. "Siapa namamu? Apa kamu teman satu sekolah Tao?"

"Itu nama panggilan gue di rumah." Ujarnya mengerti dengan kebingunganku.

"Saya, Claudia Stefanny dan saya teman satu sekolahnya."

"Gak usah berbicara formal seperti itu. Anggap saja kamu sedang berbicara dengan ibumu."

Aku tersenyum, namun jauh dilubuk hatiku terasa sangat sakit. Ketika wanita itu menyebutkan kata 'ibu' aku kembali teringat pada ibuku.

"Fan? Lo gak apa-apa?"

Pertanyaan Edi membuyarkan lamunanku. Di hadapanku sudah tersaji berbagai makanan berkuah serta minuman anggur di gelas. Ini pasti adalah makanan khas negaranya. Di Indonesia, tidak ada makanan yang seperti ini.

Aku menyendokkan satu suapan makanan ke dalam mulutku. Enak, satu deskripsi untuk rasa makanan ini. Ibu Edi tersenyum ketika melihat ekspresi wajahku. Namun, Edi tidak menyantap satu suapan pun. Ia hanya terdiam sambil menunduk, memperhatikan celana jeans nya.

"Ed, kenapa gak di makan? Ini enak!" Seru ku.

Namun, pria itu sama sekali tidak menggubris perintahku. Tiba-tiba ia berdiri dan beranjak dari kursi. Aku pun bingung lalu mengejarnya, meninggalkan kedua orang tua Edi di meja makan. Sebenarnya, aku sama sekali tidak enak tetapi otakku memerintahkan agar aku mengejarnya.

"Kenapa lo pergi?" Tanyaku saat sudah berada di taman belakang rumahnya.

"Gak apa-apa. Cuma muak gue."

"Seenggaknya, kamu hargai orang yang udah buatin kamu makanan."

Aku diam dan menunduk tidak berani berbicara lagi. Edi mulai mengeluarkan aura dinginnya. Mata tajam itu semakin menambah aura intimidasi dari dirinya. Rahangnya mengeras. Dan sialnya air mataku jatuh di kedua pelupuk mataku.

Edi mengangkat daguku. Ia menatap mataku yang sudah dipenuhi oleh butiran kristal, serta kedua pipiku yang sedang mengalir butiran kristal itu.

"Maaf. Gue gak bermaksud buat nakutin lo. Gue cuma bener-bener muak."

Aku melepaskan kedua tangan Edi dan mengangguk mengerti keadaannya. Aku mencoba untuk tersenyum, memberanikan diri untuk menatap matanya yang memancarkan perasaan bersalah.

"It's okay. Aku ngerti."

Senyumanku semakin lebar meyakinkan agar mata Edi tidak terus memancarkan perasaan bersalah.

"Jangan senyum! Lo jelek." Ledeknya.

Aku mencebikkan bibir lalu mencubit pinggang Edi membuat sang pemiliknya meringis kesakitan. Baru saja aku urat-uratku direnggangkan dan sekarang menjadi tegang lagi gara-gara pria menyebalkan dihadapanku ini.

No One Who Understand Me [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang