One year later...
Hubungan spesial kami berjalan hingga satu tahun, dan kami anniversary saat perayaan kelulusan SMU di sebuah gedung yang cukup megah. Aku memakai sebuah dress di atas lutut berwarna biru tua dengan hiasan ronde berwarna putih. Rambutku di kuncir setengah menyisakan poni dan rambut belakang yang menjuntai ke bawah.
Di depan, Edi sedang bersandar pada pintu mobil. Aku terperanjat. Ia memakai kemeja berwarna putih yang dibalut oleh jas berwarna hitam, celana hitam se mata kaki, dan sepatu hitam. Ia mengubah gaya rambutnya menjadi ikal berantakan.
"We must go now, babe."
Aku menggeleng kepala cepat lalu masuk ke dalam mobil diikuti Edi.
Sesampainya di tempat tujuan, semua pasang mata melihat ke arah kami yang melangkah masuk dengan tanganku yang melingkar di lengan Edi. Sebagian dari mereka ada yang memuji dan ada juga yang mencela. Para siswi melihat Edi dengan tatapan memuja, namun segera ku kaitkan lenganku pada lengannya.
Acara pun di mulai. Kepala sekolah naik ke atas panggung bersama seorang guru perempuan yang memegang sebuah piala penghargaan.
"Cek! Ehem! Saya selaku kepala sekolah SMU Global Jaya berbangga hati karena hasil ujian tahun ini sangat memuaskan. Rata-rata nilai ujian kalian sangat bagus, mengalahkan SMU di seluruh Jakarta."
"Walaupun begitu, SMU Global Jaya juga mempunyai seorang murid jenius yang berhasil mendapatkan nilai tertinggi. Dan itu jatuh kepada..."
Suasana tegang menyelimuti para hadirin, begitu pula dengan diriku. Aku berharap penghargaan itu jatuh pada diriku.
"Claudia Stefanny dari kelas XII IPA 1."
Semua orang terdiam dan beralih memandang ke arahku. Kepala sekolah menyuruhku untuk maju ke depan dan menerima penghargaan darinya. Setelah mengalungkan medali, aku berdiri di atas podium, menatap semua murid SMU Global Jaya. Aku merasa grogi dan gugup namun Edi memberikan senyuman semangatnya yang membuat semua rasa itu musnah.
"Terima kasih kepada bapak kepala sekolah serta guru-guru yang sudah mendidik saya. Saya tidak menyangka bahwa saya adalah murid yang mendapatkan nilai tertinggi. Saya juga berterima kasih pada seseorang yang selalu memberikan saya semangat dalam menjalani hidup. Tanpanya saya tidak akan seperti ini."
"Saya juga berterima kasih kepada almarhum ibu yang sekarang telah di sisi-Nya, karena beliau saya dapat pelajaran berharga."
Tetes air mata jatuh dari kelopak mata kiri ku. Semua kenangan tentang masa lalu bersama ibu kembali terputar di otakku. Kenangan di mana ibu menyemangati ku saat ingin mengikuti ujian akhir sekolah saat kelas 5 SD. Dia tersenyum manis. Senyumannya tidak akan pernah hilang dari memori otakku.
Aku kembali duduk. Edi mencium keningku lalu membisikkan ucapan selamat kepadaku. Ia menyeka air mata ku yang jatuh sambil tersenyum.
"Thank you, Ed."
• • •
Edi membawa ku ke atap gedung. Angin kencang menerbangkan surai hitamku. Aku menatapnya menunggu apa yang ingin ia katakan. Ia tampak menghela napas lalu mendongakkan kepala menatap ke arah mataku. Demi Tuhan, tatapannya membuatku merasa sangat tenang dan nyaman. Namun, ada yang berbeda dari tatapan itu.
"Aku pengen minta maaf, kalau sikapku akhir-akhir ini menjengkelkan."
"Gak apa-apa, Ed. Itu emang gaya kamu, 'kan?"
"Aku pengen ngomong sesuatu sama kamu."
Aku menunggu dan berharap ia mengatakan jika ia ingin memberikan ucapan selamat anniversary padaku.
"Kita putus."
Bagaikan ditusuk ribuan pisau tajam, apa yang dikatakan Edi benar-benar membuat hatiku remuk. Dadaku terasa sesak, kakiku lemas, dan air mataku sudah lolos jatuh membasahi pipiku.
"Aku kira kamu pengen ngucapin happy anniversary kita yang ke satu tahun, tapi..."
Aku berusaha untuk tidak sesegukkan. "Apa alasan kamu mutusin aku?"
"Karena aku udah gak suka lagi sama kamu. Karena kita gak cocok."
"Alasan yang klasik, Ed."
Aku membalikkan tubuhku membelakangi Edi. Air mataku terus berjatuhan. "Tau begini, aku gak akan terima kamu jadi pacar aku. Aku juga gak mau kenal lebih sama kamu. Aku menyesal. Jika itu mau kamu, oke. Anggap aja kita gak pernah kenal."
Aku pergi meninggalkan Edi yang masih berdiri mematung ditempat. Wajahku sudah basah oleh air mataku sendiri. Aku berlari tidak tahu harus ke mana. Hatiku sakit, sangat. Petir menyambar namun aku tidak peduli. Tetes air hujan sudah berjatuhan dengan deras. Dress yang ku pakai sudah basah kuyup.
Kakiku berhenti melangkah lalu berlutut sambil berteriak. "Bodoh kamu Fanny! Kamu tahu 'kan gimana cowok itu? Mereka pasti akan nyakitin kamu pada akhirnya."
Aku menangis di dalam hujan. Aku tidak menyadari bahwa mobil Edi berhenti tidak jauh dari tempatku. Dia menatapku sendu dan penuh penyesalan.
Kemarin kau ubah benci jadi cinta. Sekarang berubah cinta jadi kecewa. Ku kira cinta itu indah, tetapi tenyata tak seindah itu. -Cinta Salah-
• • •
Keesokkan harinya, aku mengunjungi makam ibu ku. Setelah meletakkan bunga di atas pemakaman, aku jongkok lalu memandang foto ibu yang disimpan di dalam bingkai foto.
"Ibu, ternyata semua cowok sama aja. Mereka nyakitin perasaan Fanny di saat Fanny menyayanginya. Dan alasannya itu sangat klasik, bu."
Sepulang dari pemakaman, aku memperhatikan satu tiket pesawat yang terletak di atas meja nakas ku. Aku menghela napas. Sekolah merekomendasikanku untuk kuliah di luar negeri, namun aku meminta agar aku kuliah di tempat asal kakekku. Sekolah menyetujui permintaanku.
Awalnya, aku ingin mengajak Edi bersamaku terbang ke negara itu, tetapi... Ah, sudahlah.
Ku lirik jam arloji ku tinggal tersisa 1 jam lagi pesawat take off. Aku mengehela napas panjang lalu mengambil tiket pesawat itu dan segera bergegas menuju bandara.
To be continued...
Alma Farrel Tirta
KAMU SEDANG MEMBACA
No One Who Understand Me [Revisi]
Teen FictionSeorang gadis remaja mempunyai jalan hidup yang sulit. Hidupnya di penuhi oleh kebencian dan kesedihan. Dia di anggap lemah oleh semua orang. Tidak hanya itu, ia kecewa oleh seseorang, seseorang yang ia percaya akan selalu bersamanya, menjaganya, da...