Part 7

3.6K 163 2
                                    

Recommended song : Gummy - You are my everything (English ver)

Perpustakaan seperti biasa hanya berisikan anak-anak kutu buku dan pintar, mungkin hanya beberapa saja orang selain mereka yang ada di dalam. Kepalaku diletakkan di paha Edi sambil membaca sebuah buku yang belum sempat ku baca. Aku berniat untuk membaca buku itu di rumah namun, kalian pasti tahu kenapa?

Di balik buku, aku berusaha untuk mengontrol detak jantungku yang tidak stabil akibat perlakuan Edi padaku tadi. Ya. Dia menciumku, dan itu adalah ciuman pertamaku.

Aku menurunkan buku ku hingga bawah mata. Entah mengapa pandanganku jatuh pada bibir merah muda itu. Edi mengusap ujung bibirnya membuatku menelan saliva. Aku masih teringat bagaimana ia menguasai 'permainan' kami tadi.

"Jangan di lihatin terus, nanti tambah terpesona."

Buru-buru ku tutup wajahku dengan buku. Pipiku memanas. Apa baru saja ia menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya? Atau lebih tepatnya benda kenyal itu?

Baru saja aku membaca beberapa kalimat, Edi mengambil paksa buku ku. Aku bangkit dan mengambil kembali namun lengan pria itu sangat panjang.

"Ayo makan! Aku lapar banget, dari tadi kita cuma baca buku doang."

Aku menaikkan sebelah alis, "bukannya kamu yang nyuruh ke sini?"

Edi tersenyum sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Tetapi, ia punya alasan mengapa ia memilih pergi ke perpustakaan di banding kantin. Ia tidak mau jika diriku menjadi korban 'lempar telur' oleh para murid perempuan di sekolah ini.

Berlebihan memang, tetapi mau bagaimana lagi? Aku harus menerima resiko berpacaran dengan seorang pria populer di sekolah. Jadi, kali ini aku mengalah lagi. Kami langsung bergegas menuju kantin.

🔹🔹🔹

Edi bilang bahwa ia ada urusan dengan bisnis papa nya, jadi aku harus pulang sendiri menggunakan bus. Sebenarnya aku sudah terbiasa namun tanpa kehadiran dia terasa sangat hampa.

Aku melangkahkan kaki ku menyusuri koridor sekolah. Tiba-tiba seseorang menarikku paksa. Aku berusaha berontakan namun apalah daya sebuah pisau berada di leherku. Aku pasrah mengikuti ke mana orang itu membawaku.

Bunyi gesekkan pisau terdengar di kedua telinga ku. Sosok seorang wanita berseragam SMU duduk membelakangiku dengan rambut bergelombang yang ia gerai. Wanita itu memerintahkan orang yang membawaku agar meletakkan ku pada kursi di dekat lemari.

Wanita itu menyuruh orang tadi untuk mundur. Dan ternyata, wanita itu adalah...

"Hai!" sapanya sambil menyeringai.

"Please! Kenapa kamu selalu bikin aku terluka? Salah aku apa?"

Wanita itu tertawa garing, "lo gak tahu atau bego sih? Lo itu udah gak dianggap lagi sama orang tua lo."

Aku terdiam. Bagaimana dia bisa tahu?

"Dan satu lagi!" dia berjalan mendekatiku.

"Gara-gara keluarga lo, kakak gue mati!! Waktu itu kakak gue abis pulang dari kampus dan berniat traktir gue jalan-jalan. Tapi, di tengah jalan dia langsung merenggang nyawa dan itu semua gara-gara keluarga lo. Masih tanya apa salah lo?"

Aku terdiam. Benarkah keluargaku yang melakukan semua itu? Aku rasa mereka juga korban kecelakaan maut itu. Mereka juga sama-sama merenggang nyawa.

Kulit leherku terasa perih saat pisau itu tiba-tiba bergerak horizontal. Darah segar keluar dari sana di tambah suara gelak tawa puas dari wanita itu. Ini sangat sakit! Bahkan lebih sakit di banding beberapa hari yang lalu.

Aku berdoa dalam hati agar Edi cepat-cepat datang menyelamatkanku. Aku rasa, wanita itu mengalami gangguan kejiwaan. Bahkan orang yang tadi membawaku meminta untuk berhenti harus tidak sadarkan diri karena terbentur ujung meja.

"Lo juga harus mati!!!"

Aku memejamkan mata saat pisau itu mengayun mendekati bagian perutku. Tetapi, aku sama sekali tidak merasakan benda tersebut menusuk perutku. Aku mencoba membuka mata dan hal yang pertama kali ku lihat adalah, Edi. Dia tersenyum sambil berlutut dihadapanku.

"Kamu gak apa-apa 'kan?"

Air mata ku lolos seiring tubuhku yang memeluk erat tubuh Edi. Aku takut dan sakit. Leherku tidak bisa digerakkan. Edi melepaskan pelukanku lalu melihat bagian luka dalam di leherku.

"Kita ke rumah sakit, sekarang!"

• • •

Dokter selesai mengobati luka ku dan pergi keluar dari ruangan, tinggal aku sendirian di dalam. Edi sedang mengurus biaya administrasinya di bawah. Mataku menatap kosong langit-langit ruangan ini. Perkataan wanita itu terus terngiang-ngiang di otakku.

"lo gak tahu atau bego sih? Lo itu udah gak dianggap lagi sama orang tua lo.


Benarkah mereka yang melakukan semua itu? Tetapi, tidak masuk akal sekali. Mereka juga tewas saat itu juga. Bahkan kata orang-orang wajah mereka sudah sukar untuk dikenali.


Aku bergerak menuju jendela ruangan. Hembusan angin menerpa kulit wajahku, serta surai hitam rambutku berterbangan. Aku memejamkan mata untuk menimbang keputusanku. Ya, lebih baik mati daripada harus menderita. Tidak ada gunanya aku hidup.


Langkah kaki ku perlahan-lahan maju hingga berhenti di paling dekat jendela. Kaki ku angkat sebelah di susul sebelah. Di bawah tidak ada orang jadi aku tidak perlu repot-repot untuk khawatir.


Saat tubuhku hendak terjun, sebuah tangan menarikku masuk kembali ke dalam hingga tubuhku menindih tubuhnya. Jangan katakan jika itu adalah Edi.


"Kamu mau ngapain, heh?!" Tanya Edi.


Tatapannya tajam. Seperti ini membunuhku.


"Babe, look at me!"


Dia memelukku, "Bunuh diri itu justru bebanmu semakin berat karena harus menanggung semua dosa keluargamu."


Aku merasa tenang. Ia melepas pelukan lalu mengelus pipi kananku lalu berkata, "aku yang akan selalu ada di saat kamu butuh seseorang. I am everything for you. Jangan selalu berpikiran untuk mengakhiri hidup. Tuhan gak suka sama orang yang mudah putus asa."

Here I am, way to you

I hope that someday you will realize

That I can see forever in your eyes

And I'm wishing my dream will come true

I am lost without you
You are my everything











To be continued...

Alma Farrel Tirta

No One Who Understand Me [Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang