Edi mengajakku ke suatu tempat. Awalnya aku menolak karena alasan sedang tidak ingin keluar, namun bukan Edi namanya jika ia tidak memaksa. Jadi, aku hanya duduk tenang disampingnya sambil memperhatikan jalanan dari luar jendela bus.
Setelah turun dari bus dan berjalan beberapa meter, Edi menutup mataku dengan menggunakan sapu tangan berwarna merah. Lalu, ia menuntunku berjalan ke depan. Tiba-tiba ia memerintahku untuk berhenti.
"Dalam hitungan ketiga, lo boleh buka penutup matanya. Satu, dua, tiga!"
Aku membuka penutup mata dan alangkah indahnya pemandangan dihadapanku ini. Sebuah taman kecil yang dihiasi oleh bunga-bunga, air mancur, pohon-pohon, serta satu kursi panjang yang terletak di dekat air mancur. Edi membawaku ke kursi panjang tersebut.
Kami duduk berdampingan. Aku masih terkagum-kagum dengan taman ini. Very beautiful. Siapakah pemilik taman mini ini? Apakah Edi menyewanya?
"Cantik ya? Kayak lo."
Aku menoleh ketika Edi mengucapkan kalimat itu. Baru saja Edi memuji diriku dan semburat merah kembali muncul di kedua pipiku. Tiba-tiba dia menggenggam tanganku dan menatap mataku membuat jantungku berdebar-debar.
"Sebenarnya, gue udah tau lo sejak gue pindah ke sini satu tahun yang lalu. Gue selalu perhatiin lo dari jarak jauh. Sayangnya, lo terlalu cuek sama semua orang."
"Lo adalah orang yang selalu gue temui di perpus saat gue nugas. Lo adalah orang yang selalu bikin kesabaran gue habis gara-gara lo diem aja kalo mereka bully lo. Dan lo juga adalah orang yang mendengar cerita pribadi gue dan yang gue ajak ke rumah dan bertemu langsung sama kedua orang tua gue."
Jadi, selama ini Edi sudah mengenal diriku jauh sebelum kejadian itu.
Tiba-tiba dia memegang tanganku. Lalu berkata, "Will you to be my girlfriend?"
Aku terkejut, tidak percaya akan pernyataan Edi baru saja. Dia memintaku untuk menjadi kekasihnya sedangkan kita baru saja kenal dua hari yang lalu. Ya, sebenarnya aku juga mengharapka hal ini tetapi, apakah ini tidak terlalu cepat.
Aku masih menimang jawabanku. Bagaimanapun aku juga menyukainya. Aku menarik napas dan meyakinkan diri akan jawabanku.
"Yes, I will."
• • •
Kami pulang ke sebuah apartment yang lumayan luas. Letaknya tidak jauh dari tempat kami kunjungi tadi. Aku mendudukkan bokongku di sofa sambil bersandar pada sandaran sofa. Entah mengapa hari ini tidak se lelah hari-hari sebelumnya, bahkan aku lupa tidak pergi ke toko rotiku. Seharian hanya bersama dengannya, Edi.
Aku melihat dia keluar dari kamar mandi dengan kaus putih dan celana pendek se lutut, ditambah rambutnya yang basah. Aku cukup terpana melihat ketampanan pria yang sekarang telah menjadi kekasihku. Ia berjalan ke arahku membuatku jadi gugup.
"Mandi sana! Kamu bau."
Aku berdecak. Lagi-lagi dia menyebalkan padahal baru saja aku puji. Aku beranjak dari sofa sambil menghentak-hentakkan kakiku.
Tidak butuh waktu lama, aku pun keluar dari kamar mandi dengan kaus lengan panjang dan celana pendek se paha. Rambutku yang ku ikat dan ku gulung membiarkan poni jatuh di kening. Aku berjalan menghampiri Edi yang sedang membuat makanan di dapur.
"Emangnya kamu bisa masak?" Tanyaku sambil melihat sesuatu yang sedang Edi goreng.
"Oh pasti lah! Masakanku gak ada bandingnya di dunia." ujarnya menyombongkan diri.
Aku hanya mendecih lalu duduk di meja pantry dan menuangkan setengah gelas air putih. Dari meja itu, aku melihat Edi yang lihai berurusan dengan kompor. Aku menopang daguku dengan menggunakan punggung tangan kanan ku sambil terus memandangi Edi dari meja pantry.
Edi datang sambil membawa dua piring yang berisi nasi goreng dengan telur mata sapi di tengahnya. Segera ku ambil sendok dan garpu untuk menyuap satu suapan nasi goreng ke dalam mulutku. Satu deskripsi untuk makanan ini, enak.
"Aku gak tahu kalau kamu bisa masak makanan se enak ini."
"Udah aku bilang pasti enak. Kamu aja yang nggak percaya."
Aku tertawa. "Ya ya ya. Aku akui kalau masakan kamu enak. Bahkan lebih enak dari buatanku. Kapan-kapan ajari aku masak, oke?"
"As your wish, babe."
🔹🔹🔹
Hari ini adalah hari libur. Edi berniat mengajakku pergi ke suatu tempat. Ya. Hari ini kami akan kencan untuk pertama kalinya. Di perjalanan, kami terhalang oleh kemacetan yang memang sudah biasa terjadi di Jakarta. Jadi, aku memilih untuk mendengarkan lagu, untuk menghilangkan rasa bosan.
Mobil kami berjalan tidak teratur, terkadang jalan dan terkadang berhenti membuat kesabaranku habis.
"Emangnya kita gak bisa lewat jalan yang lain? Mau berapa lama lagi kita di sini? Aku sangat bosan."
"Pacar aku ngambek, eh? Oke, sebentar aku lihat GPS dulu."
Ia meneliti arah jalan alternatif menuju tempat tujuannya, sementara aku melihat ke arah luar jendela. Tiba-tiba mobilnya jalan dan berputar balik melewati jalan yang sebelumnya. Kepalaku hampir saja menghantam dashboard. Aku menggerutu dalam hati tentang sikap menyebalkannya yang selalu membuat darahku mendidih.
Aku menikmati pemandangan jalan raya dari jendela dengan menggunakan headset. Tidak ada yang bisa ku lakukan selain melihat jalanan aspal itu.
Selang beberapa jam kemudian, mobil Edi berhenti di sebuah tugu yang menjulang tinggi sampai ke langit dan di dalamnya sekumpulan manusia tengah melakukan berbagai kegiatan. Edi membukakan pintu untukku layaknya seorang tuan putri. Aku cukup tersanjung dengan perlakuannya, dan itu membuat kerja jantungku menjadi tidak stabil.
Edi menggenggam tanganku masuk ke dalam kawasan tersebut. Wow! Ini ramai sekali. Seumur hidup, baru kali ini aku mengunjungi tempat yang dikenal sebagai Monas ini. Sewaktu kecil, aku hanya berkunjung ke museum-museum nasional lainnya.
"Tugu itu benar-benar tinggi. Aku gak bisa liat ujungnya."
"Gimana kalau kita naik ke atas? Ke puncak. Yang aku dengar dari orang-orang di puncak pemandangannya sangat indah."
Aku mengangguk cepat dan kami bergegas untujk mengantri bersama para pengunjung lainnya.
Setelah lama mengantri akhirnya kami sampai juga di puncak. Dan ini benar-benar sangat luar biasa indah. Aku bisa melihat kota Jakarta yang ternyata sangat luas dari puncak ini. Aku dan Edi berjalan menuju teropong.
"Wow! Ini sangat luas, liat!"
"Ya. Selama aku di Indonesia, gak nyangka kalau kota ini luas. Se luas cintaku padamu."
"Jangan gombal."
Ya Tuhan! Kontraksi jantungku semakin tidak beraturan. He always make me flying. Buru-buru aku palingkan wajahku namun dicekal oleh telapak tangannya.
"Don't hide it, babe. I like it."
To be continued…
Alma Farrel Tirta
KAMU SEDANG MEMBACA
No One Who Understand Me [Revisi]
Teen FictionSeorang gadis remaja mempunyai jalan hidup yang sulit. Hidupnya di penuhi oleh kebencian dan kesedihan. Dia di anggap lemah oleh semua orang. Tidak hanya itu, ia kecewa oleh seseorang, seseorang yang ia percaya akan selalu bersamanya, menjaganya, da...