Aku menarik kursi yang berada di paling pojok perpustakaan dan duduk. Buku yang ku ambil adalah sebuah buku novel karya seorang penulis terkenal yang menceritakan kisah hidup seorang gadis yang mengalami perjalanan kisah cintanya yang sulit.
Tiba-tiba kursi yang berada di depan meja tergeser dan seseorang duduk sambil menulis sesuatu di buku catatannya. Aku mendongak dan mendapati seseorang yang baru saja sembarangan memelukku.
Baru saja aku hendak berdiri, pergelangan tanganku ditahan oleh orang yang duduk di depanku. Tangan kanannya masih setia menggerakkan pulpen di atas kertas.
"Maaf, bisakah kamu melepaskan tanganku?"
"Lo bisa tenang, gak?"
Orang itu menatapku. Dengan gugup aku kembali ke kursiku. Perlahan tangannya terlepas dari pergelangan tanganku. Aku pun kembali membaca buku yang sedang aku pegang.
"Nama lo siapa?"
Aku mendongak. Mata kami kembali bertatapan. Apa baru saja ia bertanya padaku? Mata sipit dan tajam itu terus menatapku menunggu jawaban yang ia inginkan.
"Aku Fanny." Jawabku.
"Kelas?" Tanya orang itu lagi.
"11 IPA 1."
"Wow! Kita berada di kelas yang sama tapi gue nggak pernah lihat lo di kelas."
Aku hanya tersenyum kecil.
"Oh ya, nama gue Edison Huang. Lo bisa panggil gue Edi."
Kedua sudut bibir orang yang bernama Edi itu terangkat hingga menimbulkan suatu perubahan drastis dari wajahnya. Tampan.
"Lo baca buku apa? Kayaknya seru."
Edi berjalan memutar lalu duduk di sebelahku. Hal aneh merasuki jantungku. Ia berdetak lebih cepat dari biasanya. Wangi parfume mint menyeruak masuk ke indera penciumanku. Aneh.
Edi membaca satu paragraf cerita yang paling atas dengan teliti. Aku terus memandang wajah pria itu dari samping. Rahang lancipnya membuat pandanganku tidak bisa teralihkan.
"Gue tahu cerita ini. Si pemeran utamanya bakal hidup bahagia dengan seseorang yang bisa nyembuhin luka di masa lalunya. Tapi, dia harus melewati masa-masa sulit yang nggak pernah ia bayangin, di mana dia harus kehilangan orang yang dia sayangi." Jelasnya.
Aku membaca halaman selanjutnya. Di sana dituliskan bahwa si pemeran utamanya juga harus di sakiti oleh cinta pertamanya. Aku terus membaca hingga air mataku jatuh membasahi pipi.
"Lo kenapa nangis?"
"Nggak. Aku nggak apa-apa. Hanya saja debu masuk ke dalam mataku." Jawabku sambil mengucek-ucek mata.
Tiba-tiba sebuah hembusan angin terasa di kedua mataku membuatnya terpejam. Aku terkejut. Apa baru saja ia meniup bagian mataku yang terkena debu? Aku membuka mataku dan wajah Edi sangat dekat dengan wajahku. Aku bisa merasakan deru napasnya menerpa kening.
• • •
Bel istirahat berbunyi. Seperti biasa aku pergi ke kantin untuk makan dan lagi-lagi aku di hadang oleh sekelompok orang yang membully ku kemarin.
"Hei, mau kemana lo, hah?! Lo nggak bisa seenaknya pergi dari hadapan gue"
Aku hanya menunduk takut. Tubuhku gemetar dan sebentar lagi kristal itu akan turun. Ia mengangkat daguku dan tepat sekali kristal itu jatuh membasahi pipi kananku.
"Eh? Kenapa nangis, sayang? Tenang aja. Kita nggak bakal lakuin hal kemarin lagi." ujar salah satu dari mereka.
"Tapi, mungkin ini yang lebih parah dari kemarin." Tambahnya.
Ia menjambak rambutku kasar. Aku hanya bisa menangis menahan rasa sakit. Namun, lama-kelamaan dia mendorongku ke dinding yang membuat punggungku berbunyi seperti retakan.
"Hei bitch! Lo emang nggak berguna ya? Lo manusia lemah. Sampah! Nggak seharusnya lo di sini. Tempat ini nggak pantes buat lo."
Tubuhku bergetar hebat. Air mataku tak henti-hentinya jatuh. Ia mengambil sesuatu dari kantong roknya dan mengarahkan ke leherku. Tajam. Mungkinkah itu sebuah pisau? Apa yang akan dia lakukan dengan pisau itu. Tiba-tiba benda itu bergerak secara horizontal yang membuat luka garis cukup dalam dan cairan merah pekat keluar. Orang itu tertawa jahat.
"STOP!!"
Sebuah teriakan membuat dia berhenti dan menoleh ke sumber suara. Dia terpaku dan menjatuhkan benda itu ketika melihat orang yang berteriak sedang menghampiri kami.
"Kalian gak ada kerjaan lain?"
"Lo gak usah ikut campur ya!" seru orang yang sedang menyiksaku.
Edi menepis tangan dia. Pisau oun jatuh ke lantai. Sontak membuat teman-temannya mundur dua langkah.
"Lo nyakitin dia, berarti lo berurusan sama gue. Dan satu lagi." Edi menyodorkan layar ponselnya ke depan muka dia.
"Gue bakal laporin lo ke kepala sekolah. Biar lo di keluarin dari sekolah. Bukan cuma itu, lo bakal gue permaluin di depan siswa lain."
Lalu, Edi membopong aku menuju UKS.
Sesampainya di UKS, aku di dudukkan di kursi. Ia mengambil kotak P3K.
"Coba lepasin tangan lo." Perintah Edi.
Aku menggelengkan kepala cepat, namun Edi memaksa hingga ahirnya dia bisa melepaskan tanganku. Sekuat apapun aku menahannya tetap saja tenaga ku tidak cukup kuat melawannya.
"Aww sakit!" pekikku.
Aku mencoba menahan sakit di leherku ketika ia mengoleskan obat antiseptik ke luka ku.
"udah selesai."
Aku mencoba menormalkan posisi kepala ku yang miring ke samping ini. Sungguh ini sangat sakit, tetapi tidak sesakit ucapan ibuku.
"Gimana?"
"Makasih ya. Kamu udah nolongin aku."
"Sama-sama. Lain kali, kalo mau pulang harus bareng gue. Biar mereka gak ngelukain lo lagi."
"Iya."
"Gue anter pulang sekarang."
"Gak usah. Aku pulang sendiri aja. Lain kali aja nganterinnya."
To be continued…
Alma Farrel Tirta
KAMU SEDANG MEMBACA
No One Who Understand Me [Revisi]
Teen FictionSeorang gadis remaja mempunyai jalan hidup yang sulit. Hidupnya di penuhi oleh kebencian dan kesedihan. Dia di anggap lemah oleh semua orang. Tidak hanya itu, ia kecewa oleh seseorang, seseorang yang ia percaya akan selalu bersamanya, menjaganya, da...