Selamat membaca. Semoga suka.
***
Suara putaran kipas angin tua yang menggantung di langit-langit ruang tamu menambah suasana menjadi tegang. Wajah-wajah penuh emosi bercucuran keringat dingin, sebagian telah memerah dan menonjolkan otot leher. Mereka semua ingin melampiaskan amarah pada seseorang.
Orang itu adalah Lanang, lelaki gagah yang kini bagai tersangka kriminal, duduk di kursi pesakitan dalam ruang sidang. Enam pasang mata tengah menusuknya tanpa belati tajam. Dia hanya bisa tertunduk sangat dalam, entah apa yang sedang ia perhatikan. Yang pasti, bukan barisan semut di lantai marmer tua usang yang sudah kehilangan masa kejayaannya itu.
"Jadi kamu benar-benar tidak tahu dimana Nara sekarang?" Aminah bertanya sekali lagi pada Lanang. Lelaki itu kembali menggeleng pelan dengan sorotan mata hampa. Seolah dia sendiri tak mengerti bagaimana bisa dia tak tahu dimana istri dan anaknya berada sekarang.
Aminah menghembuskan nafas dengan berat. Ada beban besar yang membuatnya nampak begitu lelah. Sesekali dia memijit pelipis dengan jari tengah dan jempol kanan. Kulit keriput makin kentara saat dahi itu berkerut.
Usianya memang sudah tidak muda. Enam puluhan dengan empat cucu. Hampir seluruh rambut beruban dan selalu disanggul asal-asalan. Bahkan malam ini terbilang berantakan.
Walaupun sudah uzur, sosoknya tetap nampak bagai ibu suri dalam istana. Tegas, bijak, berwibawa dan arif dalam menghadapi persoalan yang bergejolak dalam rumah. Seperti saat pertama kali dia mendengar bahwa keberadaan putri kesayangan tak ketahuan rimbanya, dia tetap bisa mengontrol diri untuk tidak panik. Sebagai ibu, barang tentu dia cemas. Tapi dia berusaha tetap tenang di depan anak-anak dan para menantu.
"Saat Nara datang, ibu sudah tahu kalian berdua ada masalah. Tapi seperti biasa, Nara menutupi. Ibu menghargai itu. Ibu tidak memaksanya bicara." Tiga detik Aminah terdiam mengingat bagaimana sorot mata Nara penuh luka namun Aminah berpura-pura tidak tahu. "Jika dugaan kita benar, dia kabur. Berarti ada masalah berat yang sedang dia hadapi. Sekarang, tolong jujurlah pada ibu. Ada masalah apa dengan pernikahan kalian?"
Aminah dan semua orang dalam ruangan itu melihat ke arah Lanang. Sesungguhnya Lanang tak punya cukup nyali untuk menceritakan kemelut apa yang sudah menerjang rumah tangga mereka. Tapi sampai kapan dia akan menutupi? Sudah saatnya keluarga besar tahu apa yang telah terjadi.
"Mohon maaf ibu...semua salah Lanang." Lanang beringsut dari duduknya lalu tiba-tiba bersimpuh di kaki Aminah. Semua orang bertanya-tanya dengan tingkah Lanang yang dinilai ganjil itu. "Mohon ampun ibu..." Lanang hampir menangis. Ada rasa sesal yang teramat dalam dibalik kalimatnya.
"Ada apa nak? Kesalahan apa yang sudah kamu perbuat pada Nara?"
"Apapun yang terjadi, percayalah bahwa saya hanya mencintai putri ibu. Tapi Allah menguji pernikahan kami. Saya...saya...saya..." Satu hembusan nafas berat dia lepaskan, sangat berat baginya untuk menceritakan kejadian pahit itu. "Terjadi kesalahpahaman sehingga keadaan membuat saya harus menikahi siri putri tetangga kami di Padang." ucap Lanang dengan suara parau dan bergetar tanpa sedikitpun berani mengangkat kepala.
"Apa kamu bilang? Jahanam! Bejat kamu Nang! Tega-teganya kamu lakukan itu pada adikku!" Bimo langsung berdiri dari duduknya. Dia siap dengan ancang-ancang meninju Lanang. Tapi tentu saja itu hanya sekedar keinginan. Posisi Lanang sekarang sudah aman di pangkuan ibu suri.
"Bimo! Duduk!" Persis seperti dugaan, Aminah takkan mengijinkan dia menyakiti tubuh menantu kesayangan di rumah itu.
"Kalo bukan karena ibu. Sudah mampus kamu Nang. Jangan pikir karena Nara nggak punya bapak, kamu bisa seenaknya memperlakukan dia. Nara masih punya kami, kakak-kakak dan adiknya!" Bimo kembali duduk. Akhirnya bantalan sofa jadi pelampiasan emosi. Bantalan itu mendarat kasar di lantai. Sandra menepuk halus pundak suaminya agar lebih tenang dan berpikir jernih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biduk Terbelah
Romance(SELESAI) Lanang; "Aku tahu, dari sekian banyak penderitaan yang telah kamu alami selama kita bersama, memaafkanku adalah hal tersakit bagimu. Walau begitu, sampai kapanpun aku akan tetap memohon satu kesempatan lagi karena aku begitu mencintaimu" N...