7. Cinta dalam Sehelai Rambut

5.6K 565 18
                                    

Happy reading.

Flashback

"Jadi habis berapa kira-kira total biayanya mbak?"

"Untuk program ke empat, total biayanya sekitar sebelas juta dua ratus empat puluh lima ribu Bu." Nara menghembuskan nafasnya dengan berat.

"Ya udah deh mbak, makasih."

"Sama - sama."

Nara berjalan gontai meninggalkan loket pembayaran rumah sakit. Lehernya serasa digantungi puluhan karung goni berisi batu dan kerikil. Langkahnya sangat berat, tatapannya jatuh pasrah ke lantai keramik putih yang dia lewati.

Sesampai di depan kamar rawat Nayla, dia tidak langsung masuk. Nara memilih duduk di kursi depan kamar. Pikirannnya kacau.

Biaya sebesar itu kemana lagi akan mencari. Dia tahu bahwa klaim asuransi kantor suaminya belum cair. Sedangkan untuk meminta lagi pada sang suami, Nara tidak sampai hati.

Terakhir Nara menelepon, Lanang terdengar kebingungan mencari pinjaman uang pada teman-teman kantornya. Jika Nara menelepon lagi, Lanang pasti mengusahakan hal yang sama. Cari pinjaman kesana kemari, mengemis dan memohon pada banyak orang. Membayangkan saja Nara tidak tega. Lanang bukan tipe orang yang mudah merendahkan harga diri untuk berhutang uang.

Nara meraba kalung yang melingkar di lehernya. Kalung emas berbandul berlian kecil, peninggalan terakhir sang ayah sebelum meninggal dunia. Sepertinya kalung itu bisa menjadi solusi sementara sebelum klaim asuransi keluar.

"Tapi apakah cukup?" Batin Nara.

Kini jarinya meraba tangan kanan. Dua cincin bersusun tersemat di jari manisnya. Cincin pertunangan dan pernikahan dari Lanang.

"Bapak, mas Lanang, maafkan aku. Aku hanya akan menggadainya. Suatu hari pasti ku tebus." Batin Nara sekali lagi.

"Ma ... mama ... mama ... " Tak lama kemudian terdengar suara tangis anak kecil dari dalam ruangan. Nara bergegas masuk kamar.

"Eh, sudah bangun anak mama yang cantik."

"Mama cini aja. Jangan jauh - jauh. Nay akut."

"Iya maaf. Mama tadi cuma duduk di depan kok." Nara mencium kening putrinya.

"Mama ... "

"Hem? Apa sayang?"

"Cucu."

"Oh susu ya? Bentar mama bikinin." Nara mendekati lemari kecil di ujung kamar.

Dia menyeduh susu hangat dalam gelas. Ketika berbalik ke ranjang, dilihatnya Nayla sedang melakukan sesuatu yang membuat hatinya bagai teriris sembilu.

"Kamu lagi apa sayang?"

"Acang ambut Nay agi. Hatuh - hatuh hanyak. Anti Nay otak. Eman - eman akut. Nay dak unya eman agi. " Nara terdiam. Matanya berkaca - kaca. Tapi sekuat mungkin dia tahan agar tidak menangis.

Dia sudah berjanji pada diri sendiri bahwa dia tidak akan terlihat lemah di depan Nayla. Dia harus kuat dan tabah demi kesembuhan putrinya.

"Biar saja nak. Nanti juga tumbuh lagi." Nara membantu Nayla agar posisinya setengah duduk. "Minum dulu susunya."

Nayla menurut. Segelas susu yang disodorkan Nara dengan cepat dia seruput. Selesai susu itu habis, Nara kembali membaringkan tubuh mungil itu. Membenahi letak selang infus dan baju yang dipakai Nayla.

Biduk TerbelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang