19. Kepala Batu

4K 485 53
                                    


Andri membungkuk depan Nara, dia merengkuh kedua lutut kuat-kuat seakan takut lepas. Nafasnya tersengal, sedangkan keringat bercucuran dari dahi dan ujung dagu yang sedikit lancip. Padahal sore itu mendung, tapi kondisi Andri tak ubahnya seperti bocah main layangan, tepat saat bedug dzuhur ditabuh--di tengah gurun.

"Payah. Cuma segitu aja, udah ngos-ngosan." Cemooh Nara.

"A. Aku u. Udah lama ng. Nggak olahra. Ga." Andri menatap Nara. Walau untuk bicara saja, dia masih terbata-bata, namun sekilas senyum, masih sempat dia simpulkan untuk Nara.

"Alasan." Nara masih getol mencela. "Bilang aja kamu loyo."

Andri menegapkan badan. Mendekati Nara, lalu duduk di bangku, yang ditumpangi Nara lebih dulu. Dia berusaha mengatur nafas agar stabil. Nara menyodorkan sebotol air mineral yang masih bersegel pada Andri. Lelaki itu menyambutnya dengan senyum. Setelah berhasil membuka tutup botol, Andri meneguk isinya dengan rakus.

"Ngajarin anak main sepatu roda itu, capek. Kalo nggak percaya, sana, gantian kamu yang ngajari Nayla." Nara mengalihkan pandangan ke arah Nayla yang tengah sibuk menyeimbangkan badan diatas kedua sepatu tali, berroda itu. Untung saja ada Idan yang membantu Nayla. Sedangkan Tiwuk, hanya berdiri di tepi sambil memberi komando. Suaranya yang cempreng, berteriak heboh tiap Nayla nyaris jatuh.

"Nggak mau. Kan kamu yang beliin dia sepatu roda. Gimana urusannya, aku yang suruh ngajarin?"

"Dia minta beliin. Biar kekinian katanya. Teman-teman sekolahnya, pamer foto-foto saat main sepatu roda. Mana mungkin aku tega menolak, selama itu kegiatan positif. Aku tidak mau dia ketinggalan jaman."

"Kamu jangan terlalu manjain dia, Ndri."

"Ma...Pa...Nay bisa." Teriak Nayla, yang berjarak beberapa meter dari Andri dan Nara. Nara menyambut ekspresi girang Nayla dengan melambaikan tangan, sedangkan Andri mengangkat dua jempol tinggi-tinggi.

"Kalo aku tidak boleh manjain, terus kepada siapa, dia harus bermanja-manja? Lumrah jika anak seusianya, masih manja." Nara bungkam. Dia menyadari satu hal, dia takkan bisa menyentuh teritorial hubungan Andri dengan putrinya. Andri memiliki cara tersendiri untuk membuat Nayla senang, percaya diri dan merasa dicintai secara utuh. Nara berjanji dalam hati, takkan pernah meragukan Andri lagi soal itu.

Andri meletakkan botol mineral di tengah bangku, turut menjadi pembatas antara dirinya dan Nara, selain tas Tiwuk yang tadi dititipkan.

"Ra."

"Ya?"

"Kamu...tidak kangen rumah?" Nara menoleh sekilas. Mengernyit bingung. "Magelang."

"Oh." Nara menyembunyikan keterkejutannya pada pertanyaan yang Andri ajukan. Dia belum pernah mendapat pertanyaan itu sejak keputusannya meninggalkan rumah, dari Tiwuk sekalipun. Mungkin karena Tiwuk tahu, menanyakan itu, sama halnya dengan menancapkan belati di batin Nara.

Nara pikir, Andri tipe orang yang sama. Bisa memilah dengan cerdas hal-hal yang perlu disampaikan atau tidak. Nara pikir, dengan mencurahkan seluruh isi hati tempo hari, akan membuat Andri memahami bagaimana lukanya, takkan bisa sembuh secepat dan semudah itu. Nara sebenarnya berharap, cukup Andri tahu, asal muasal darimana luka yang bersemayam dalam dadanya kuat-kuat. Cukup tahu saja. Menemaninya selama luka itu masih basah, jika bersedia. Nggak muluk-muluk untuk mengeringkan. Tapi yang Andri lakukan sekarang, malah menekan luka itu hingga berdarah kembali.

"Saudaramu, kakak-kakakmu. Dan ibumu."

"Bukan kepada mereka lagi, tempatku pulang Ndri. Mereka sudah memiliki keluarga masing-masing. Urusan masing-masing. Aku harus berdiri diatas kakiku sendiri, sekarang."

Biduk TerbelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang