20. Terminal

4.3K 492 125
                                    

Part ini, edisi; Jelajah Nusantara.
Ada bahasa sehari-sehari ane; Jawi. Tapi juga mari belajar bersama bahasa Minang.

Bagi reader yang bersuku Minang, dengan senang hati bila sudi mengoreksi kalimat yang saya pakai. Ini terjemahinnya sudah sampe botak. Jadi, mohon maklum.

Happy reading.

"Dari sekian banyak tempat, kenapa kamu milih tempat ini buat ketemu sih? Aduh. Woy. Liat-liat dong kalo jalan. Matane!" Lelaki yang baru saja menyenggol pundak Tiwuk, membalikkan badan. Melotot. Tiwuk membalas dengan pelototan yang tak kalah kejam.

"Maaf. Maaf ya Bang. Teman saya nggak maksud ngomong kasar." Andri segera menundukkan badan sebagai permohonan maaf.

"Apa-apaan sih kamu Ndri? Sudah jelas dia yang sa...emmmphhhh...emmmpphhh..." Andri membungkam mulut Tiwuk agar berhenti ngoceh.

"Suruh temen lo jaga bacotnya."

"Iya bang. Maaf."

"Emmmphhh..."

"Bagus." Lelaki bertato di lengan kiri yang kekar itu akhirnya pergi. Nampaknya sedang tergesa-gesa, dia mendorong beberapa orang agar memberi jalan. Setelah lelaki itu menghilang dari pandangan, Andri menjauhkan telapak tangan dari mulut Tiwuk.

"Kampret. Pengecut banget jadi laki." Umpat Tiwuk.

"Realiatis. Kamu nggak lihat, perawakannya seperti preman? Dia tarung sendirian lawan kita berdua aja, pasti menang. Apalagi kalo ternyata dia raja terminal ini. Sekali siul, kawanannya nyeruduk. Mau mati konyol, kamu?"

"Ya nggak."

"Nah, makanya. Jaga lisan." Jari telunjuk Andri nangkring di mulut sebagai kode permintaan pada Tiwuk agar diam.

"Semua ini gara-gara kamu. Ngapain ngajak ketemu disini? Ndak bisa, di warung makan, taman, atau pabrik saja?" Tiwuk menuruti langkah Andri yang menariknya menjauh dari kerumunan.

"Biar keliatan mesra berdua, terus kalo ketahuan Idan atau Nara, kita disangka selingkuh, begitu?" Andri duduk di salah satu tangga menuju pintu masuk terminal Arjosari, dekat pos petugas menyerahterimakan karcis peron. Dia menepuk ubin sebelah kiri, agar Tiwuk mengikuti jejaknya.

"Nggak usah bawa-bawa Idan. Bilang aja kalo kamu takut Nara cemburu. Lagian, apa bedanya ketemuan disini atau di taman? Sama-sama tempat umum. Ramai orang." Tiwuk mengusap-usap ubin lebih dulu, sebelum mendaratkan pantat disana.

"Ya kamu tahu, kalo sahabatmu yang satu itu kayak perempuan lagi mens tahunan. Tiap hari marah terus bawaannya. Sedikit-sedikit salah. Masalah kecil jadi besar. Nggak ada benernya, aku depan dia." Tiwuk memperhatikan orang-orang yang duduk disebelahnya, yang juga asyik ngobrol. Beberapa ada yang sibuk menelepon atau sekedar utak atik handphone. Tiwuk curiga, mereka juga seperti dirinya dan Andri. Datang ke terminal hanya butuh tempat untuk bicara seru sambil melihat kesibukan beberapa orang lalu lalang yang menyeret koper atau memanggul ransel.

"Ndak usah curhat colongan." Andri nyengir, menggaruk tengkuk yang tidak merasa gatal sama sekali.

"Setahuku Idan dan Nara jarang ke terminal. Jadi kemungkinan kita ketangkap basah sama mereka, sangat kecil."

"Ndak sekalian aja, kamu ngajak ngobrolnya sambil kita numpak sepur dari stasiun Gajayana sampe Gedangan sana. Kan mereka berdua juga jarang numpak sepur."

"Ide bagus. Lain kali bisa dicoba."

"Ngawur!" Tiwuk mendaratkan satu jitakan kecil di kepala Andri.

"Aduh. Ini kepala woy, bukan kelapa!"

"Salahmu dewe. Cari gara-gara sama aku."

"Oh, pantesan sekarang Nara galak. Kamu yang ngajari kan?"

Biduk TerbelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang