13. Restu Tiwuk

4.4K 503 30
                                    


Happy reading.

Tok...tok...tok...

"Permisi." Tiwuk mengetuk pintu kayu dihadapannya, pelan. Hanya sebagai pengalih perhatian orang di dalam ruangan yang tengah sibuk menekuri berlembar-lembar dokumen di meja, lalu sesekali mengetik keyboard komputer yang menyala.

"Oh, Tiwuk. Masuk. Masuk." Pintu ruang kerjanya kebetulan sedang menganga lebar, jadi Andri dengan cepat bisa melihat siapa yang datang. Andri melorotkan dua lensa cembung berbahan trivex yang bertengger diatas hidung bangirnya. Kaca mata yang hanya dia gunakan saat bekerja di depan layar monitor komputer. "Duduk, Wuk." Tiwuk menurut.

"Ada apa? Tumben." Andri menggerakkan badan agar kursi yang ia duduki maju ke depan. Semakin dekat dengan meja. Menatap Tiwuk sejurus serius.

"Saya mau membicarakan hal pribadi dengan Bapak. Tentang Nara. Jadi kalau saya tidak pantas membicarakannya disini. Bisakah Bapak menentukan, kapan dan dimana kita bisa berbicara?" Tiwuk tahu diri, di pabrik, dia bukanlah siapa-siapa dibanding Andri. Dia tidak bisa bersikap seperti biasa, saat mereka bertemu di rumahnya atau sedang jalan bersama, seperti saat ke BNS tempo hari. Dimana kecanggungan oleh jabatan, melebur tak bersisa. Andri, Tiwuk dan Idan, memilih amnesia tentang strata pangkat saat di luar pabrik. Mereka bercanda tanpa sekat, tanpa embel-embel bos dan kacung. Saling mengejek, mengolok, merangkul dan memukul lengan. Selayaknya pergaulan teman pada umumnya.

Andri menghela nafas panjang. Meletakkan kedua tangan di atas meja. "Pertama, sudah berapa kali saya bilang. Panggil nama saja. Kamu tak perlu seformal itu, Wuk. Kita teman. Ingat? Kamu dan Idan, teman baik saya sekarang." Andri tersenyum ramah.

"Nanti, jika diluar pabrik dan diluar jam kerja, saya pasti akan memanggil Bapak dengan nama saja. Tapi tidak disini, tidak sekarang. Saya tidak mau jadi gunjingan karyawan lain. Saya harap Bapak mengerti."

"Baiklah, jika itu maumu. Saya setuju." Andri menyandarkan punggung di kursinya. Bersendekap, memainkan kursinya dengan memutar-mutar badan beberapa kali. "Ehm...soal permintaanmu tadi. Jujur saja, seminggu ini saya akan lembur. Sekarang menjelang tanggal-tanggal krusial. Laporan saya harus masuk ke kantor pusat sebelum dateline. Saya takut tidak akan sempat menyediakan waktu untuk sekedar ngobrol di depot atau warung kopi. Jadi, bagaimana kalau kamu bicara sekarang?"

"Tapi Pak. Ini masalah pribadi. Bukankah terdengar ndak profesional, eh, maksud saya tidak profesional, jika kita bicarakan masalah ini sekarang?" Perhatian Tiwuk sejenak tersedot pada satu frame kaca berukuran sedang yang menggantung di dinding. Tepatnya di belakang tempat duduk Andri. Foto dua anak kecil berpelukan, satunya seorang anak perempuan berparas cantik. Dan satunya lagi, yang nampak sekitar lima tahun lebih tua, mirip dengan Andri.

"Itu saya, dan adik saya, ketika kami masih kecil. Dia sudah meninggal puluhan tahun lalu. Kemiskinan membuat ibu saya tidak bisa membawanya ke dokter. Dan sampai sekarang, yang kami tahu, dia meninggal karena kejang-kejang dan demam tinggi. Entah penyakit ganas apa yang dia derita saat itu." Andri menggedikkan bahu. Raut mukanya mendadak pilu. "Itulah kenapa waktu pertama kali aku ke rumahmu, aku kesetanan membawa Nayla ke dokter. Aku tidak mau yang terjadi pada adikku, terjadi pada Nayla. Aku trauma."

"Oh." Terbersit rasa bersalah dalam dada Tiwuk, karena raut muka Andri berubah dalam hitungan sepersekian detik. Masih tersimpan getir disana, sebuah luka kehilangan dalam retina mata.  Satu nilai plus untuk Andri di mata Tiwuk kembali tercatat. Andri begitu terlihat sakit atas kepergian adiknya, artinya lelaki ini adalah seorang penyayang keluarga. Hati Tiwuk makin mantap dengan uneg-uneg yang akan diutarakan.

"Eh, maaf Wuk. Aku jadi melantur membicarakan keluargaku, ya?"

"Tidak apa, Pak. Sungguh, saya turut berduka dengan kepergian adik Bapak." Andri tersenyum singkat.

Biduk TerbelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang