33. EGO

359 50 7
                                    

"Apa benar, yang dikatakan mas Lanang?" Nara mengunci pandangan Andri agar ekor matanya tak keliaran kemana-mana mencari perlindungan sebagai pengalih perhatian. "Jawab, Ndri!" Lumrah jika Nara marah. Dia tak habis pikir, bagaimana bisa orang yang paling dipercaya tega berkhianat.

Berkali-kali Nara memohon dan meminta, jangan satupun orang tahu tentang keberadaannya, terlebih Lanang. Andri setuju, menyimpul erat sebuah sumpah. Bahkan membanggakan diri bahwa dia orang yang amanah. Tapi nyatanya malah mencederai kepercayaan Nara. Mencabik janji yang dicipta sendiri.

Andri mengangguk pelan. Dia nanar menatap Nara karena takut kehilangan.

Lanang sialan.

Andri terus mengumpat dan menyumpah serapah. Buyar sudah semua rencana yang tersusun rapi. Ternyata Lanang memang bukan saingan yang remeh. Otaknya kelewat cerdas. Pantas Nara susah move on.

"Kenapa, Ndri? Kenapa?" Saking herannya, kerutan dahi Nara tempuk di tengah alis. Matanya memicing tajam. "Aku nggak ngerti sama sekali." Nara menggeleng pasrah. Rasa kecewa membuncah.

"Agar ... kalian ketemu." Jawab Andri sangat hati-hati. Dia tahu kemungkinan hanya satu persen bisa menang dalam persidangan kali ini. Semua bukti telah nyata di mata Nara. Restorasi justice takkan berlaku. Andri pasrah menjadi pesakitan selamanya.

"Buat?" Kejar Nara menuntut.

"Ya...ketemu, bicara, selesai." Ucap Andri perlahan, berjeda, tersendat. Persis proyek bangunan garapan pemerintah di beberapa titik ibu kota. Mandeg.

Nara mengangkat kedua ujung pundak dibarengi kedua tangan menengadah keatas. Jawaban Andri tak membuatnya puas. Dia masih menuntut jawaban yang lebih luas dan jelas.

"Emmh....berpisah, bercerai. Lalu....segera menikah denganku?" ucap Andri ragu. Suaranya lirih, menggigit bibir dalamnya sendiri. Dia mengasihani diri sendiri, seculas itulah cara untuk mendapatkan Nara dalam waktu singkat.

Andri tak ingin Nara terus sembunyi dan berlari. Karena semakin lama Nara berlari, semakin lama dia menunggu. Dia ingin Nara segera bertemu Lanang, menyelesaikan masalah, segera bercerai, segera menjanda, lalu menikah dengannya. Karena dia yakin, hati Nara sudah tertambat padanya.

Walau ternyata, Andri keliru. Ketika menyadari kobar obor api cinta Nara untuk Lanang tak pernah redup, apalagi padam. Andri mampu melihatnya ketika pertama kali mereka bertemu setelah sekian lama. Di pendopo rumah Nara. Dalam rasa marah yang tersirat, terdapat bahagia dalam tatapan Nara karena rindu telah berlabuh.

"Oh, sepicik itukah caramu?" Tandes! Melesat tepat sasaran. Dada Andri nyeri berdarah-darah terkena panah berracun dari kalimat Nara.
"Termasuk mendekati Nayla, juga salah satunya?" Tuduh Nara semena-mena.

"Tidak. Tidak yang satu itu." Tolak Andri mentah-mentah."Jangan, Ra. Jangan yang satu itu. Kamu tahu itu." Andri menggeleng mantap. Tuduhan itu sangat kejam, tidak manusiawi. Bagaimana Nara bisa lupa, bahwa cintanya untuk Nayla tulus. Sangat tulus.

"Benarkah?" Tanya Nara selidik.

"Tentu!"

"Hanya karena kisah adikmu?"

"Tentu saja."

"Banyak anak kecil disekitarmu. Apakah kamu memperlakukan mereka sama?" Sindiran berbalut pertanyaan itu mampu membuat Andri bungkam. Mematung, sibuk meragukan diri sendiri. Mungkin benar apa yang dikatakan Nara. Ketulusan tak pernah mengalir diantara mereka. "Jujur pada hatimu, jangan padaku." Itu kalimat terakhir yang terucap sebelum Nara pergi tanpa pamit, meninggalkan Andri sendiri di teras.

Sedangkan Lanang sudah menghilang sejak tadi. Sebelum Andri menjelaskan apapun tentang kenapa diam-diam Andri malah memberi jalan untuk bertemu dan bersaing. Lanang tak butuh penjelasan apapun. Sebagai sesama lelaki, Lanang bisa membaca semua rencana busuk Andri dengan gamblang.

Biduk TerbelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang