Epilog

487 51 11
                                    

Septi mendekat, melingkarkan tangan Lanang ke pinggangnya. Lanang tetap diam, bahkan saat Septi menurunkan tangannya ke bawah pinggang.

"Septi rela, kalau Abang mau ... " bisik Septi di telinga Lanang, dengan nafas yang ternyata sama memburu.

"Boleh?" Tanya Lanang dengan suara tercekat. Septi tersenyum, lalu mengangguk.

"Lakukan apapun yang Abang mau." Mendapat jawaban itu, Lanang bagai tersiram air hujan setelah berdiri setahun di tengah ladang tandus. Tangannya segera meremas apa yang sudah sejak tadi dia pegang. Septi makin merapat, mendekatkan bibirnya pada bibir Lanang dan menuntut ciuman itu berbalas. Desahan demi desahan lolos dari bibir Septi, membuat Lanang makin hilang kendali. 

Sejenak Lanang rakus dan menikmati hasrat yang bergelora, berapi-api dan membara. Sentuhan-sentuhan Septi pada tiap milimeter tubuhnya, membuat Lanang terbang ke nirwana dilanda mabuk kepayang parah. Septi lihai memainkan jari jemarinya, seolah tahu dimana letak kelemahan syahwat lelaki. Membuat Lanang terbuai, terlena, dan lupa akan segala urusan akherat. Yang ada dalam otaknya saat ini hanya surga dunia.

Jari-jari Septi tak berhenti sedetikpun untuk bergerilya. Sangat terampil dan lihai memanjakan lelaki sampai lupa diri. Sentuhan demi sentuhan bagai sehelai bulu merak yang disapukan pada kulit dengan lembut, geli tapi nikmat. Septi seolah melakukan magic yang membuat Lanang terhipnotis, manut, jatuh tak berdaya.

Jauh berbeda dengan Nara, yang masih kaku dan harus dibimbing.

Nara?

Seketika bayangan wanita itu sekelebat muncul dalam ingatan Lanang, melemparnya jatuh ke kubangan kenyataan bahwa dia masih suami orang.

"Sep, tunggu!" Lanang baru sadar bahwa Septi telah melucuti seluruh pakaiannya sampai telanjang bulat, mengelus alat vitalnya yang telah menegang keras.

"Ada apa?" Septi terkejut. Dia berhenti menjilati leher Lanang.

"A...Aku tidak bisa, Sep. Aku sudah punya istri." Lanang menjauhkan tubuhnya dari Septi, tapi perempuan itu tidak menyerah. Dia kembali menarik tubuh Lanang.

"Dia tidak disini. Dia takkan tahu." Bisik Septi pada telinga Lanang, "Ayo lanjutkan, Septi sudah tidak tahan ahh..." Septi kembali mendesah manja dan meniup telinga Lanang dengan halus. Dia kembali mencium dan menjilati leher Lanang. Gairahnya sudah di puncak, mana mungkin permainan bisa berhenti sampai disini.

"Tidak, Sep. Tidak. Tidak. Aku tidak bisa. Aku harus pulang. Aku tidak mau melakukan ini."Lanang berusaha mendorong tubuh Septi dengan paksa.

"Ayolah Bang, sedikit lagi. Tinggal masuk saja." Rayu Septi tak menyerah. Tapi Lanang semakin jijik melihatnya. Dari gelagat dan gerak gerik Septi, dia perempuan binal yang sudah memiliki jam terbang tinggi melayani lelaki. Padahal sepanjang sepengetahuannya, Septi masih lajang. Belum pernah menikah. Tapi sepertinya perempuan ini sudah tidak perawan. Takkan ada perawan yang sudi menggadai harga diri semurah itu. Sudah ditolakpun, masih meronta-ronta untuk dipuaskan nafsu birahinya.

Entah kenapa pemikiran itu hinggap dalam otak Lanang, tiba-tiba muak melihat tubuh Septi. Lanang buru-buru memungut celana dalamnya yang terkapar di lantai dan memakainya. Begitu juga dengan celana panjangnya.

Brak ...

Pintu kamar mandi terdobrak dengan keras dari luar.

"Astaghfirullah...apa yang sedang kalian lakukan?" Inoy, tiba-tiba masuk membawa handuk besar. Segera menutup tubuh Septi. Kemudian Septi juga mulai memakai baju yang menggantung di belakang pintu kamar mandi.

Biduk TerbelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang