2. Eccedentesiast

8.6K 757 33
                                    

Chapter ini dee dedikasikan buat AyuSomawati yang telah sudi ngikuti sepak terjang dee sejak awal. Thank ya Yu, kamu tetep aja sabar nungguin meski dee sempet lama gak nulis.

Juga buat saudaraku tercinta maiadwi, seneng akhirnya ketemu orang yang nyambung di ajak ngobrol soal dunia tulisan. Thanks sudah meluangkan waktu dan siapin kuping buat dengerin semua cerita dee.

Selamat membaca semuanya...

***

Lima bulan sejak kepergian Nara...

"Bagaimana? Sudah ada petunjuk dimana Nara sekarang?" Lanang menggeleng lesu. Seteguk kopi pahit kembali dia kecap.

Sejak kepergian Nara, mendadak dia berubah haluan dari pecinta latte menjadi pecandu kopi hitam tanpa gula. Dia merasa memiliki rasa yang sama dengan kopi itu; getir.

"Entah harus kemana lagi aku harus mencarinya" pandangan Lanang terbuang ke arah halaman parkir yang nampak jelas di balik dinding kaca transparan kedai kopi itu. Tempat dimana dia sering datang saat ada masalah sejak bujang atau sekedar janjian dengan teman. Untuk hari ini, dua tujuan itu menjadi alasannya datang.

"Sabar ya sob. Gue yakin lo pasti bisa nemuin Nara secepatnya" Pram berusaha menenangkan. Walau sebenarnya dia tahu, kalimat itu takkan berpengaruh apapun pada Lanang. Hanya saja, Pram tidak tahu harus berkata apa pada sahabat sejak SMAnya itu. Pram tahu betul bahwa Lanang sangat mencintai Nara dan putri mereka. Hidup Lanang hampa tanpa mereka seperti onde-onde tanpa isi dan wijennya.

"Polisi? Belum ada hasil juga?" Lanang kembali menggeleng lalu menghembuskan nafas berat.

"Seandainya aku bisa memutar waktu..." Lanang terdiam sejenak, sekilas kejadian menyakitkan itu berputar dalam memorinya "Aku sungguh menyesal Pram." Lanang tertunduk lemas. Rambutnya yang mulai gondrong dan acak-acakan mengayun ke bawah mengikuti gerakan kepala sang empu. Entah sudah berapa lama kepala itu tidak tersentuh shampo.

"Yang kuat sob. Lo bukan Lanang yang melankolis seperti ini. Come on...mana Lanang yang gentle dan optimis seperti dulu gue kenal. Sudahlah...menyesali masa lalu itu cuma kerjaan perempuan. Kita ini laki, man. Lihat ke depan, fokus." masih dengan usahanya yang sok macho, Pram berusaha menguatkan Lanang.

Sekali lagi, hanya semata-mata karena sebagai sahabat, dia tidak tahu harus bagaimana lagi. Melihat keadaan Lanang yang kini duduk di depannya saja, Pram tahu bahwa Lanang sedang berada di titik terrendah kehidupannya.

Pram bisa membayangkan seberapa berantakan hidup lelaki itu dari penampilannya hari ini. Baju lusuh, wajah kusam dan melingkar bayangan hitam di sekitar mata. Entah sudah berapa lama Lanang tidak tidur. Ini benar-benar bukan Lanang yang dulu ia banggakan sebagai sahabat karena berjalan dengannya saja semua wanita cantik menoleh. Lanang yang dulu sangat peduli pada penampilannya sampai ia juluki sebagai pria metrosexual.

"Kenapa? Kenapa dia selalu memilih diam dan selalu tersenyum seolah tak terjadi apa-apa, tapi lalu meninggalkanku tanpa sebait kata? Kenapa dia tidak menjadi wanita bawel yang marah-marah seharian untuk meluapkan semua isi hati sampai lega lalu menamparku, tapi setelah itu memelukku, tetap di sisiku sampai kapanpun? Kenapa dia menjadi Eccedentesiast begitu Pram? Kenapa?" Lanang menceracau sendiri. Pram hanya bungkam. Dia tahu pertanyaan Lanang bukan untuknya, tapi untuk Lanang sendiri.

Pram mulai menyadari betapa kesakitan yang di rasakan Lanang takkan bisa dia bantu sama sekali. Lanang tak butuh dirinya, bahkan psikiater terhebat sedunia. Dia hanya butuh Nara.

Biduk TerbelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang