"Ndri."
"Hem."
"Aku kesini mau minta maaf."
"Oh." Andri tak menggeser posisinya barang sepersekian milimeterpun. Wajahnya masih tenggelam dibalik layar komputer. Tangannya masih sibuk memencet tombol-tombol di papan keyboard. Sesekali menggoyang mouse ke kanan kiri. Dan terdengar bunyi klik beberapa kali.
"Entah kenapa, saat mendengar Nayla menyebutmu sebagai Papa, aku seperti mendengar putriku menyelingkuhi bapaknya sendiri. Dia sudah punya seseorang yang memang, secara biologis, sepatutnya dipanggil Papa. Jadi cukup satu, nggak perlu lebih."
"Oh."
"Ku pikir kamu nyogok Nayla dengan boneka gede biar mau manggil kamu Papa. Cuma mau buktiin ke aku, bahwa kesempatan yang ku kasih ke kamu tempo hari itu, nggak salah. Sumbu pendek banget aku, kan yah?" Nara tersenyum garing.
"Ehm."
"Setelah ku interogasi, ternyata aku keliru. Nayla sendiri yang pengen panggil kamu papa. Tanpa kamu suruh-suruh. Dia seneng banget pas Sabtu kemaren, kamu jemput sekolah. Dia bilang ke teman-temannya, kalo kamu papanya." Nara menelan ludah, tapi serasa menelan durian sekalian kulitnya. Nara sedih luar biasa ketika mendengar pengakuan Nayla semalam. Dia tak pernah berpikir sejauh itu, bahwa Nayla sangat merindukan sosok ayah, yang telah lama hilang dalam siklus kehidupan mereka.
"Oh, begitu."
"Ndri...aku mohon maaf." Nara memasang wajah memelas. Dia mahfum jika Andri masih marah, karena kesalahannya kali ini, tidak bisa dibilang sepele.
"Ya." Andri masih bertahan dengan sikap dinginnya. Nara menghembus nafas dengan keras. Dia tahu bahwa takkan mudah Andri memaafkan, setelah menerima perilaku bar-barnya semalam. Namun dia tak menyangka bahwa menerima maaf dari Andri, akan sealot ini.
Nara terdiam sejenak. Memikirkan apakah harus terus berjuang untuk mendapat maaf Andri, dengan mengurai penjelasan demi penjelasan. Atau mundur. Memilih pergi, menyerah dan egois, dengan bertameng dibalik kalimat "Yang penting aku sudah minta maaf. Kalo nggak mau maafin, ya udah. Aku pergi."
Nara diam, sebelum memutuskan apapun. Perhatiannya tersedot pada sebingkai pigura dibalik tubuh Andri, yang berisi sebuah foto lawas. Dua anak kecil yang berpelukan penuh sayang. Persis seperti yang Tiwuk ceritakan, foto itu menyiratkan banyak makna tentang cinta, kasih sayang dan persaudaraan. Andri salah satu tipe lelaki yang memegang teguh sebuah prinsip, bahwa keluarga adalah segala-galanya.
"Kalo aku udah minta maaf, tapi kamu masih marah gini, aku nggak tahu harus gimana lagi." Suara Nara terdengar menyedihkan dan putus asa. Andri akhirnya memberi respon berbeda dengan yang sebelumnya. Dia mengehembus nafas berat. Melepas kaca mata. Mengucek kedua kelopak mata, memijit-mijit pelipis dan batang hidungnya.
"Kamu boleh, curiga atau negatif thinking tentang bagaimana perasaanku ke kamu. Kamu boleh, mencari cacat dalam hubungan kita berdua. Boleh. Sangat boleh. Tapi, jangan sekali-sekali kamu, mencederai hubunganku dengan Nayla. Aku tuh..." Andri berekspresi antara gemas dan sebal. Dia meremas udara dengan penuh tenaga. Mulutnya manyun dan giginya bergemelatuk. "Kamu nggak pernah ngerasain nggak punya bapak sejak kecil, sih Ra. Jadi susah mau ngerti." Kepalan tangan Andri mendarat di meja. Membuat Nara tersentak. Dia kini baru paham, bahwa kasih sayang Andri pada Nayla lebih dari sekedar om pada ponakan. Ikatan yang lebih kuat dari sekedar segerombolan rasa iba.
"Iya. Aku tahu. Aku salah. Makanya aku disini sekarang, minta maaf sama kamu." Andri mengangguk.
"Tapi prediksiku, kamu bahkan nggak sadar, kenapa kamu harus semarah itu ketika mendengar Nayla memanggilku papa." Andri memajukan posisi duduknya. Dia menatap tajam Nara, seolah ada sesuatu yang dia cari disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biduk Terbelah
Romance(SELESAI) Lanang; "Aku tahu, dari sekian banyak penderitaan yang telah kamu alami selama kita bersama, memaafkanku adalah hal tersakit bagimu. Walau begitu, sampai kapanpun aku akan tetap memohon satu kesempatan lagi karena aku begitu mencintaimu" N...