30. Talak Tiga

1.6K 227 49
                                    

Pram biasanya menghabiskan hari Minggu dengan mager di atas kasur. Enggan pergi kemana-mana, bahkan ke kamar mandi. Dia hanya beranjak ketika perut keroncongan, memasak mi instan atau menghangatkan makanan sisa semalam, lalu tidur lagi sampai Senin menjelang. Pram menganggap hari Minggu sebagai hari pembalasan, karena Senin sampai Jumat, waktunya terkuras untuk cari uang. Sedangkan Sabtu diluangkan khusus untuk senang-senang dan berkumpul teman-teman.

Tapi semalam dia menerima info di grup whatsapp teman sedepartemen di kantor. Salah satu dari mereka--yang sedang hamil, memberitahu bahwa hari ini ada baby shop di sebuah pusat perbelanjaan sedang cuci gudang. Diskon besar-besaran. Mata Pram berbinar cerah membayangkan setelan baju bayi perempuan yang lucu.

Jam sembilan pagi toko dibuka, barisan ibu-ibu merangsek masuk. Pram menyelip diantara mereka, memilih dengan cepat lalu mengantre di depan meja kasir. Hasil perburuan hari ini membuatnya senang. Ada kostum lebah dan putri duyung, yang sudah dua minggu diincar. Meski untuk mendapatkannya, dia harus memenangkan kasus sengketa terlebih dulu dengan seorang ibu muda.

Saat akan keluar mall lewat pintu yang terhubung dengan parkiran lantai empat, Pram melihat seorang perempuan sedang menuruni eskalator menuju lantai tiga. Pram mengubah haluan, kembali masuk mall untuk mengikuti perempuan itu.

"Lol. Ngapain disini?"

"Ka... Kamu? Ngapain disini?" Loly melotot. Ekspresi terkejut yang disiratkan sangat kentara. Perempuan berrok mini merah marun itu tak menginginkan kehadiran Pram disana.

"Loh, ditanya malah nanya. Gue beli baju buat a..."

"Papi. Kenalin ini Pram. Teman kantor Loly." Pram sudah menduga, lelaki tua yang digandeng Loly sejak tadi adalah sang calon papa mertua. Yang konon galak bukan main. Mendidik anak-anak ala militer, sesuai profesi yang disandang.

Saking galaknya, sampai Loly tak kunjung berani memberi tahu bahwa dia berbadan dua. Dia takut sang ayah murka lalu mengusir dari rumah, mencoret namanya dari daftar keluarga dan ahli waris. Padahal berkali-kali Pram meyakinkan, Loly takkan melewati masa-masa itu sendiri. Tapi Loly ngotot meminta Pram menunggu waktu yang tepat.

"Malam, om." Pram menjulurkan tangan.

"Malam." Orang berkepala botak itu tersenyum, menyambut jabat tangan Pram dengan hangat. Bayangan Pram tentang ayah Loly yang bertubuh tinggi tegap, berrahang tegas, berkumis tebal dan bersuara berat, seperti halnya jenderal-jenderal di film perang yang pernah ditonton--seketika buyar. Ternyata  kebalikan dari itu semua. Postur tubuh ayah Loly cenderung pendek untuk ukuran seorang anggota militer, botak, tambun dan perut buncit. Lebih cocok untuk perawakan pejabat yang menghabiskan tiga perempat harinya, hanya dengan duduk di belakang meja. Menanda tangani kontrak proyek pembangunan, tanpa perlu bersusah-susah terjun ke lapangan. Tinggal tunjuk anak buah berangkat, mengiyakan semua laporan. Sebodo amat dengan nasib korban penggusuran.

"Sungguh kebetulan kita bertemu malam ini. Ada hal penting yang harus saya sampaikan pada Om." Kapan lagi, pikir Pram. Makin lama perut Loly makin besar. Ini saat yang tepat, agar segala keperluan pernikahan bisa segera disiapkan.

"Ya, bicara saja."

"Tapi sebaiknya kita bicara di tempat lain." Loly mengedipkan mata berkali-kali, memberi kode agar Pram diam. Bukannya tidak mengerti, tapi Pram memilih tidak peduli. Dia tidak mau menuruti Loly lagi.

"Disini saja. Saya tidak punya banyak waktu."

"Baiklah jika itu mau Om." Bukan hanya kedipan mata, kali ini Loly mencubit punggung Pram berkali-kali dari belakang. Kode keras agar Pram diam.

"Pram. Apapun yang mau kamu katakan, percayalah, waktunya belum tepat." Loly tahu betul kemana arah pembicaraan Pram. Dia ingin mencegah Pram agar tidak membeberkan masalah yang mereka simpan.

Biduk TerbelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang