16. Jadian?

4.3K 474 34
                                    

Bangsal delapan, rumah sakit Panti Warsa, pagi itu nampak sunyi.  Ruangan yang seharusnya menampung empat pasien, hanya terisi satu. Disanalah Aminah membujurkan kaki, di salah satu tempat tidur dengan sprei dan bantal serba putih. Semalam wanita bijak itu, ditemukan tak sadarkan diri di dapur.

Seperti yang sudah-sudah, anak-anaknya paham bahwa ibu mereka, ambruk karena penyakit yang diderita setengah tahun terakhir ini, kembali kambuh. Maka tanpa pikir panjang, Tyas dan Teguh, yang kebetulan masih tinggal serumah dengan ibu mereka, langsung melarikan Aminah ke Rumah Sakit langganan. Tempat dimana dokter specialist--yang beberapa waktu lalu sudah memasang stent di jantung ibunya, praktek setiap hari.

"Yas..." Suara Aminah parau dan lemah. Tatapan matanya kosong melompong.

"Ya, Bu?" Tyas membenahi letak selang infus yang tertancap di lengan kiri Aminah lalu menggenggam tangan ibunda tercinta, yang kini tengah terbaring lemah disampingnya. Sebagai anak, hati Tyas teriris melihat tubuh perempuan yang telah melahirkannya ke dunia itu, pucat, kurus kering, tinggal kulit dan tulang belulang.

"Teguh, mana?"

"Ke kantin. Lapar, katanya."

"Oh." Aminah menarik nafas perlahan, penuh penghayatan. "Kalo suamimu?"

"Mas Faisal pulang. Tadi mama telepon, Reti rewel. Jadi mas Faisal pulang dulu, jemput Reti. Nanti diajak kesini. Sedangkan mas Bimo baru bisa dihubungi Subuh tadi. Semalam hapenya mati. Sekarang dalam perjalanan kesini."

"Kamu seharusnya ikut pulang, Yas. Anakmu pasti nyari bundanya."

"Nggak apa, Bu. Reti pasti ngerti kenapa Tyas nginep rumah sakit." Tyas mengelus lengan ibunya pelan, berharap sedikit meredakan kecemasan dalam pikiran wanita berusia setengah abad lebih itu.

"Ibu sudah banyak merepotkan kalian." Wajah Aminah menegadah. Tatapan kedua matanya jauh menerawang ke awan, menembus atap asbes rumah sakit. Tubuhnya memang di atas kasur pesakitan itu, tapi pikirannya melalang jauh ke antero dunia yang tak bersudut, tak berujung, juga tak pernah bersekat. Meneropong segala penjuru, mengendus keberadaan putrinya yang hilang, dengan kekuatan mata batin seorang ibu.

"Ssstt...ibu bicara apa? Nggak ada yang merasa direpotkan. Justru kami yang selalu merepotkan ibu sejak kecil." Mata Tyas berkaca-kaca. Dia menyadari betapa ringkih tubuh ibunya kini, seringkih hatinya. Dia harus pandai mengolah kata, menyusun kalimat sedemikian rupa, agar halus, tak bergerindil sedikitpun saat ditelan sang ibu. Wanita itu sedang mengalami fase perasaan super sensitif, sedikit saja salah, itu akan menjadi belati tajam yang siap menusuk ibunya, terpojok dalam kukungan kalut lalu mengantarnya ke jurang maut. Seperti dokter bilang, pasien dengan diagnosa penyempitan arteri jantung, harus menghindari stres, tidak boleh banyak pikiran. Tyas belum siap, untuk menerima resiko terburuk jika heart attack kembali menghantam ibunya.

"Nggak ada ibu yang merasa direpotkan anak-anaknya. Anak-anak adalah anugerah terbesar dalam kehidupan seorang ibu. Bahkan, ibu berterima kasih, kalian telah sudi menjadi anak-anak ibu, walau mungkin, andai bisa memilih, kalian takkan memilih seorang ibu yang penyakitan seperti ini. Hidup miskin sejak kecil," Aminah menjeda kalimat dengan meraup oksigen sebanyak mungkin melalui hidung. "Ibu bahagia memiliki kalian. Tapi ibu takut, ibu tak bisa membuat kalian bahagia memiliki ibu."

"Ibu..." Tyas merebahkan kepala di dada Aminah. Air matanya tumpah membasahi selimut lorek hitam putih--fasilitas khas rumah sakit, yang menutup tubuh Aminah sepanjang kaki sampai dada. "Ada atau tidak ada pilihan, kami hanya menginginkan ibu jadi ibu kami. Ibu yang terbaik. Ibu yang terhebat. Ibu yang tertulus mencintai kami walau kami bukanlah anak-anak berprestasi, tak pernah membanggakan. Kami selalu bahagia menjadi anak ibu." Tyas melepas sesengguk-sesengguk yang keras, sampai seluruh tubuhnya bergetar. Turut mengguncang Aminah tanpa sadar. "Ibu harus kuat. Ibu pasti bisa sehat seperti dulu. Ibu nanti akan menyaksikan Reti beranjak remaja, dewasa, menikah dan menggendong cicit ibu sendiri. Ibu pasti panjang usia. Tyas yakin itu." Tyas menatap wajah ibunya dengan derai air mata. Namun Aminah hanya tersenyum, tak ada setetespun air di sekitar kelopak matanya yang menghitam dan cekung. Wajahnyapun pucat dan kering.

Biduk TerbelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang