8. Cemburu

6.2K 540 56
                                    

"Woy! Ngelamun aja!" Tiwuk menepuk pundak Nara dengan cukup keras.

"Tiwuk! Suka banget sih bikin orang jantungan." Nara terlonjak kaget sedangkan Tiwuk hanya tersenyum usil.

Tiwuk membungkukkan badan seraya menggerakkan dagu ke depan sebagai kode agar Nara menggeser duduknya. Setelah Nara menuruti permintaan itu, Tiwuk mendaratkan pantat dengan mulus di sebelah Nara.

"Makanya jangan ngelamun. Biar nggak kaget," Nara terdiam, menelan ludah. Sehebat apapun dia menutupi suasana hati, Tiwuk pasti bisa membaca. "Masih mikirin perempuan yang jalan sama duda gantungmu itu?" Pertanyaan Tiwuk bagai panah berracun yang melesat secepat kilat lalu tertancap tepat sasaran.

Nara membisu. Dia tidak bisa memungkiri bahwa hatinya memang remuk redam sejak semalam -- sejak Nayla pulang rekreasi dengan wajah masam di iringi tangis sesenggukan.

Ketika dia bertanya ada apa, jawaban Nayla bagai gempa berskala sepuluh scala richter yang mengguncang dunianya. Memporak porandakan perasaan dan meretakkan pondasi harapan yang selama ini diam-diam masih tersimpan.

Mulut Nara memang sering bilang bahwa takkan pernah peduli dengan apapun yang terjadi pada Lanang sekarang. Tapi lubuk hati berkata lain. Rasa itu masih tersimpan rapi di sana, di sudut yang gelap namun masih utuh seperti sediakala; rasa cinta dan sayang yang terselimuti kekecewaan.

Nara juga bingung dengan perasaannya sendiri. Bagaimana rasa cinta dan benci itu bisa menyergap bersamaan. Membuatnya terjebak untuk diam di tempat, menelan rasa pahit dan manis di waktu yang sama.

Nara mengedarkan pandangan ke sekitar dengan kegugupan yang sekuat tenaga ingin dia kendalikan. Tiwuk tidak boleh tahu, bahwa hatinya saat ini sedang terbakar api cemburu. Wanita itu, siapapun dia -- membuat Nara berkeinginan kuat untuk menemui, melabrak, mencakar dan menjambaknya. Dia tidak rela suaminya di dekati perempuan manapun.

"Wuk. Lihat! Ada kunang-kunang!" Setelah sekian menit keheningan menjalar, akhirnya Nara bersuara. Jari telunjuknya mengacung ke arah seekor hewan kecil yang sedang asyik terbang mengitari daun kamboja Jepang. Ekornya kelap-kelip hijau terang, menjadi pusat perhatian di antara warna gelap hamparan langit dan suasana sekitar halaman.

"Terus kenapa?" Jawab Tiwuk cuek.

"Kamu tahu? Kunang-kunang itu adalah kukunya orang mati."

"Kamu pikir aku Nayla, yang bisa kamu tipu dengan guyonan seperti itu?"

"Kamu nggak percaya?"

"Ndak!" Tiwuk menggeleng mantap. "Aku lebih percaya kalo kamu sedang mengalihkan pembicaraan kita untuk menyembunyikan rasa cemburumu." Nara mengumpat dalam hati. Usahanya untuk menipu Tiwuk sia-sia.

Kadang Nara heran, perempuan biasa yang belum pernah menjalin cinta dengan lelaki seperti Tiwuk, bagaimana bisa begitu jeli dan peka soal lelaki? Bahkan Tiwuk seolah sudah khatam membaca buku primbon khusus lelaki.

"Sudahlah Wuk. Kita nggak perlu bahas itu. Nggak penting kan?"

"Tapi kamu emang lagi cemburu kan?"

"Penting, buat kamu?" Tanya Nara dengan nada tekanan yang menunjukkan ketidaksukaan jika sahabatnya itu terlalu jauh masuk ke dalam ranah pribadi hidupnya.

Akhirnya Tiwuk menggeleng.

"Bagaimana bisa seorang lelaki laknat seperti Lanang, mampu melukai hatimu dan membuat badan Nayla meriang? Kalian terlalu lemah jadi perempuan." Tiwuk mencibir.

"Kamu kan nggak tahu apa yang sudah kami lewati bertiga. Apalagi Nayla, biar kata langit runtuh, nggak ada yang bisa menyangkal kalo mereka berdua bapak anak. Sedarah daging!"

Biduk TerbelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang