Loly menyingkap lengan kemeja warna khaki berbahan satin, mengintip jarum jam arloji mungil yang melingkar di tangan kiri. Jam pulang kantor sudah lama terlewat; pukul sembilan malam sepuluh menit. Dia mematikan komputer, membereskan meja, membenahi make up, menyisir rambut, menyemprot parfum di tengkuk lalu menjinjing tas. Begitu keluar ruangan departemen Accounting, kepalanya celingak celinguk. Setelah memastikan aman, dia berlenggak-lenggok bak peragawati menyusuri lorong, mendekati lift untuk turun ke basement.
"Astagah! Loly lupa, tadi nggak bawa mobil. Iiihhh...tulalit. Tulalit..." Loly menggetok kepala sendiri dengan gerakan manja. Dia segera mengeluarkan smartphone dari tas, menelepon seseorang, meminta dijemput secepatnya.
Lift bergerak berubah haluan. Bukan lagi ke area parkir, tapi ke lantai dua, dimana meja resepsionis bersemayam.
Loly cemberut ketika mendapati meja resepsionis sepi. Cewek cantik dibalik meja, yang dia kenal dekat, ternyata sudah pulang. Lobby benar-benar senyap. Tak ada satupun manusia berkeliaran. Padahal biasanya masih ada staff yang lembur, untuk mengejar laporan di awal bulan. Dia duduk sejenak di kursi tunggu, khusus untuk tamu. Setengah jam berlalu, dia mulai jenuh. Loly keluar, seketika hawa dingin menyergap. Dia bersendekap.
Loly berdiri gelisah, hujan kian deras. Namun belum ada satu pasangpun sein mobil yang muncul menyibak gelap. Semua masih sama--hitam pekat, basah, dingin, dan sesekali muncul kilat. Loly bergedik ngeri. Berkali-kali mencoba menghubungi nomor yang tadi, tapi gagal. Suara mesin berjenis kelamin perempuan, memintanya untuk mencoba beberapa saat lagi. Loly mengumpat.
Loly hanya bisa menanti dengan gusar. Dia mondar mandir di teras kantor. Dari tiang satu ke tiang yang lain. Sampai akhirnya deru mobil berhenti, tepat di depannya.
Loly sempat girang, sebelum menyadari mobil yang berhenti itu, bukanlah milik orang yang ia nantikan.
"Sialan, masih hidup cecunguk itu." Umpat Loly. Dia kesal, dibela-belain pulang malam untuk menghindari pertemuan dengan lelaki itu, tetap saja takdir mempertemukan. Akhir-akhir ini, Pram sangat mengganggu. Sering mendadak muncul cuma untuk menyapa perut. Bahkan Loly tahu, diam-diam Pram menjadi detektif, yang menguntitnya kemana saja. Hanya untuk memastikan, dia aman selama di jalan.
"Lo ngapain malam-malam disini? Ya ampun, pake baju tipis lagi. Kalo anak kita masuk angin gimana? Maafkan kelakuan mama kamu yang sembrono ya, Dek." Begitu turun dari mobil, Pram berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Loly. Dia sibuk melepas jaket bomber hoody, lalu dililitkan ke perut Loly, sehingga perut itu tertutup sempurna.
"Apaan sih?" Loly geram, melepas jaket dan melemparnya ke lantai.
"Eh, sorry. Sorry sayang. Gue lupa." Pram memungut jaket itu, kini dilingkarkan ke pundak Loly. "Sekarang mama hangat, dedek juga aman."
Kali ini Loly diam. Dia tak mampu menolak kehangatan yang seketika merayap dalam tubuh, begitu jaket Pram tersampir di bahu. Tapi bibirnya terlalu kelu untuk berterima kasih.
"Nggak bawa mobil kan?"
"Ya."
"Gue anter."
"Nggak usah. Lagi nunggu sopir."
"Telepon aja. Nggak usah jemput. Udah ada yang anter. Beres."
"Nggak usah."
"Nggak usah bandel. Lo nggak kasian sama anak kita? Ini udah jam berapa? Lo butuh istirahat, biar anak kita baik-baik didalam sana."
"Nggak ma...Praaamm!!! Turunin nggak? Turunin!!!" Terlambat. Pram sudah menggendong Loly menuju mobilnya. Mendudukkan perempuan berbadan bohai itu di jok depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biduk Terbelah
Romance(SELESAI) Lanang; "Aku tahu, dari sekian banyak penderitaan yang telah kamu alami selama kita bersama, memaafkanku adalah hal tersakit bagimu. Walau begitu, sampai kapanpun aku akan tetap memohon satu kesempatan lagi karena aku begitu mencintaimu" N...