Met baca.***
"Kamu dengar kata dokter kan?" Nara berjalan cepat, berusaha menjajari langkah kaki Andri yang menggendong Nayla. "Dia baik-baik saja. Cuma demam biasa. Akan sembuh dalam dua tiga hari." Perkataan Nara terdengar untuk menghibur diri sendiri.
"Kamu juga dengar kata dokter?" Andri berhenti melangkah. Membalikkan badan. Kini dua teman lama itu berhadapan."Dia tidak hanya butuh istirahat, tapi juga tidak boleh banyak pikiran." Andri tersenyum sinis. "Miris Ra, saran itu biasanya untuk pasien sebaya kita atau manula. Bukan anak seusia Nayla." Jelas. Kalimat itu berbau penghakiman.
Dada Nara seperti terhantam godam. Jantung seakan berhenti memompa darah. Dia mematung di tengah area parkir rumah sakit di lantai tiga. Tak ada kata yang mampu diucap, tak ada anggota badan yang mampu bergerak.
Perkataan Andri telah menamparnya dengan keras bahwa ternyata dia bukanlah seorang ibu yang baik. Ego telah membutakan mata hati.
Sebenarnya dia tahu bahwa Nayla sedang mengalami stres berat gara-gara Lanang. Seharusnya anak bapak itu bertemu untuk sekedar melepas rindu. Tapi Nara masih tidak mau menemui lelaki yang entah masih berstatus suami atau mantannya itu.
Bukan sekarang. Dia belum siap melihat lukanya kembali setelah sekian lama susah payah dia bebat perban. Luka yang mungkin takkan pernah sembuh karena sudah terlalu dalam.
"Maaf. Aku tidak bermaksud menyinggung." Melihat reaksi Nara yang mematung seketika, Andri sadar bahwa perkataannya telah menyakiti perasaan perempuan itu.
"Nggak kok. Kamu benar. Selama ini ku pikir, aku sudah jadi ibu yang baik. Rela melakukan segalanya. Banting tulang cari uang demi bisa melihat dia makan dan sekolah." Nara menunduk, air matanya sudah tumpah.
"Tapi aku lupa, bukan cuma itu yang dia butuhkan," tubuh Nara mulai berguncang. Pundak dan dada naik turun tidak beraturan. "Dia tidak hanya butuh aku." Lututnya sudah lemas, tidak lagi mampu menopang berat tubuh. Kini dia dalam posisi berjongkok dengan wajah tenggelam dalam pangkuan sendiri. Dia memeluk kedua lututnya erat. Rambut yang tadi belum sempat dia kuncir, telah berantakan menutupi seluruh wajah. "Dia juga butuh bapaknya." Tangis sesengguk Nara makin kencang.
Andri merasa pilu melihat pemandangan itu. Nara tak ubahnya seperti abu yang diterpa angin, bertebaran ke seluruh penjuru. Hancur tak bersisa.
Sebagai lelaki, dia tidak sanggup membiarkan wanita melewati ini seorang diri. Dia mendekat. Masih dengan kepala Nayla bergelayut lemas di balik pundak kanannya. Gadis kecil itu tertidur pulas sejak dalam lift tadi. "Jangan pikirkan apapun sekarang. Kita fokus pada kesembuhan Nayla. Kamu tidak sendiri. Ada aku." Ucap Andri mantap sambil mengulurkan tangan.
Nara mendongak. Menatap gamang lelaki itu.
"Tapi..." tangis Nara mulai surut.
"Ku mohon. Ijinkan. Demi Nayla." Pinta Andri sungguh-sungguh. Walau dia belum tahu persis kemelut apa yang sedang dihadapi Nara, tapi dia yakin bisa membantu menyelesaikan semua.
"Terima kasih." Nara menyambut tangan itu. Lalu berdiri. Mereka berjalan beriringan menuju Fortuner putih. Disana Idan sudah menanti dan turut menyaksikan adegan perih tadi.
***
"Lanang tahu kalo sikap keluarganya seperti itu, sama kamu?" Tanya Tiwuk di sela-sela makan. Masih dengan posisi kaki seperti biasa--diangkat sebelah.
"Biar apa?" Nara menoleh sebentar, lalu lanjut mencuci piring bekas makan pelanggan warungnya. "Biar anak dan bapaknya gulat, gitu? Biar anak dan emaknya marahan? Bisa menyelesaikan masalah?" Tiga piring sudah selesai dia gosok dengan sabun. Tinggal membilas dibawah kucuran air kran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biduk Terbelah
Romance(SELESAI) Lanang; "Aku tahu, dari sekian banyak penderitaan yang telah kamu alami selama kita bersama, memaafkanku adalah hal tersakit bagimu. Walau begitu, sampai kapanpun aku akan tetap memohon satu kesempatan lagi karena aku begitu mencintaimu" N...