29. Sengketa Hati

6.2K 614 145
                                    


"Kamu masih marah?" Sudah dua hari, Tiwuk mendiamkan Nara. Tubuh mereka dekat, bersebelahan, berhadapan, namun tak saling menatap maupun tegur sapa.

"Udah tau, masih nanya." Jawab Tiwuk ketus. Dia bukan perempuan setipe Nara, yang selalu menjawab semua baik-baik saja, padahal hati panas membara.

"Aku minta maaf, soal mas Lanang."

"Itu urusan pribadimu, aku ndak boleh cawe-cawe. Itu kan, yang mau kamu bilang?" Tiwuk berhenti menggerus bumbu yang sudah diracik Nara dalam cobek besar.

Dari semua tugas kantin yang diberikan Nara, Tiwuk paling benci tugas satu ini. Menurutnya, itu pekerjaan mubadzir. Sudah ada blender dengan merk terkenal bermesin awet, Nara tetep kekeh ngulek bumbu di cobek dengan alasan cita rasa alami. Padahal Tiwuk yakin, para buruh pabrik langganan mereka--asal porsi nasi penggali kubur, dikasih air sumur bergaram saja, sudah senang.

"Sejak awal aku sudah melibatkanmu. Jadi mana mungkin, sekarang aku minta kamu nggak ikut campur."

"Terus karepmu opo? Kenapa kamu harus memarahiku depan cecunguk itu?"

"Jangan pakai kekerasan. Aku nggak setuju. Apalagi depan Nayla."

"Dia pantas digebuki."

"Iya. Tapi nggak ada yang bisa jamin, dia nggak lapor polisi. Kamu mau dipenjara?"

"Asal lihat dia mati, aku rela."

"Idan? Nayla? Sudah kamu pikirkan mereka?" Tiwuk terdiam. "Ingat Wuk. Kamu itu nggak sendiri. Ada mereka. Bagaimana kalo sampe kamu..."

"Permisi." Sebuah suara datang tanpa sopan, memotong obrolan serius antar dua sahabat. Mau tidak mau, perhatian Nara dan Tiwuk beralih ke sumber suara. Seorang lelaki dengan penampilan khas pedagang--topi, kaos oblong, celana denim berwarna pudar, sandal jepit, tas pinggang dan handuk buluk tersampir di pundak.

"Ya?" Jawab Nara ramah.

"Opo?" Jawab Tiwuk ketus.

"Kerupuknya?" Lelaki itu nyengir, lalu melepas topi. Dia memamerkan gigi putih yang berderet rapi.

Suasana dalam kios seketika senyap. Tiwuk dan Nara sama-sama bengong.

"Ra?" Bisik Tiwuk. Seolah suaranya takkan terdengar dalam radius tiga meter--tempat lelaki itu berdiri depan mereka.

"Ya?"

"Katakan, mana pisaumu yang paling tajam?"

"Untuk?"

"Hari ini aku pengen makan sop daging. Manusia."

"Kamu janji tidak akan pakai kekerasan."

"Hallo...loh, kok malah pada bengong?" Lanang melambaikan tangan berkali-kali untuk mengalihkan perhatian dua perempuan yang tengah sibuk berbisik-bisik.

"Wes bosen urip tho kowe?"

"Tenang mbak Tiwuk, saya datang membawa kedamaian dan..." Lanang mengangkat kaleng kerupuk besar. "Kerupuk." Nara dan Tiwuk menampilkan wajah bingung. "Untuk kios ini, saya kasih harga lebih murah dari yang sebelah."

"Ngomong apa sih dia?" Nara menggedikkan bahu untuk menjawab pertanyaan Tiwuk. "Wong gendeng gitu kamu nikahin." Bisik Tiwuk sekali lagi di telinga kiri Nara.

"Dulu dia waras."

"Oh, bingung ya, bingung?" Lanang menangkap kebingungan Nara dan Tiwuk. "Jadi mulai sekarang, aku memasok kerupuk ke semua kios di kantin ini. Kenapa? Karena demi bisa lolos dari pak satpam galak di depan sana, kulakan kerupuk dengan laba sedikit nggak masalah. Yang penting bisa ketemu istri tiap hari." Lanang menarik alisnya berkali-kali, menggoda Nara.

Biduk TerbelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang