14. Rajukan Nara

4.7K 517 70
                                    


"Minyak, beras, sabun cuci baju, sudah. Susu kental manis, pasta gigi, gula, sudah. Kecap sama saus juga sudah. Apa lagi ya, Ra?" Andri mengeja nama barang dalam trolley stainless, satu per satu.

"Sudah banyak sih menurutku, Ndri."

"Masih ada yang kurang deh kayaknya Ra. Ehm..." Memori Andri seolah sedang susah payah menata potongan puzzle yang morat marit.

"Apa lagi sih? Keranjangmu udah penuh gitu."

"Tunggu sebentar." Sekian detik Andri mengerutkan dahi. Lalu tiba-tiba dia tersentak oleh ingatannya sendiri. "Ah, aku ingat. Dia hobi bikin kue. Jadi dia pasti butuh terigu, kan?" Nara mengiyakan. "Kalo gitu, kita cari terigu."

"Aku tadi lihat sebelah sana." Nara berbalik arah, menuju lorong yang sudah dilewati sebelumnya. Andri mengekor. "Nah. Ini dia. Kamu pilih deh mau terigu yang mana."

"Kalau buat kue, biasanya yang mana?"

Nara berjongkok. Mengambil sebungkus terigu dari rak bawah. "Kalo aku biasanya pake yang ini." Nara mengasongkan sebungkus terigu bergambar segitiga biru pada Andri.

"Ini sekilo kan?" Andri membolak balik bubuk halus dari biji gandum itu.

"Iya."

"Ambil sembilan lagi, Ra." Nara melongo. "Orangnya tiap hari bikin kue, soalnya. Ini pasti bermanfaat buat dia." Nara hanya mendengus. Tugasnya hanya menemani Andri belanja, tidak lebih. Termasuk untuk menyuruh, memprotes atau melarang apa-apa saja yang harus dibeli lelaki jangkung itu. Maka Nara hanya menurut, mengestafet sebungkus demi sebungkus terigu dari rak kepada Andri, lalu berakhir dalam tumpukan barang di keranjang dorong.

"Tiwuk nyatroni kantorku, kapan hari." Ungkapan Andri yang meluncur santai, sukses membuat Nara terpaku di tempat. Sekilo tepung terigu yang dipegang, geming di udara.

"Ngapain? Dia kok nggak cerita apa-apa ya, sama aku." Tersadar kembali, terigu itu akhirnya pindah tangan. Tadi sore, setelah warung tutup, Andri menghampiri Nara. Meminta perempuan itu masuk ke kabin terdepan dalam mobilnya. Berdalih meminta tolong menemani belanja bulanan, untuk diberikan pada ibu kontrakan, Andri memohon dengan sangat. Dan tentu saja, wanita berhati peri itu tak kuasa mengelak.

"Sudah pas. Genap sepuluh." Andri menghitung terigu yang disodorkan Nara, dalam hati. Sepuluh bungkus. Keranjangnya sekarang dari kejauhan nampak seperti tumpukan bantal-bantal mini berwarna putih.

"Ada perlu apa, Tiwuk nemuin kamu?" Andri malah terkekeh geli sambil melewati tubuh Nara yang masih terpaku di satu titik koordinat lantai keramik swalayan itu.

"Kenapa jadi serius gitu sih?" Andri mengambil sebungkus mie instan, tertera rasa kare ayam disana. Dia mengembalikan benda itu ke rak lagi. Mengambil jenis yang lain, dibaca sebentar, lalu melemparnya pelan ke dalam keranjang. Rasa soto ayam. Lalu mengambil beberapa lagi dengan jenis yang sama.

"Kamu mau ngasih ibu kontrakan, mi instan? Kalo beliau sudah sepuh, saranku jangan." Akhirnya Nara menyusul Andri. Berdiri disamping Andri, membuatnya merasa bogel. Dia harus mendongak tiap bicara dengan lelaki itu. 

"Yang ini buatku sendiri. Kalo lagi laper malam-malam, aku biasanya makan ini. Nggak ada yang masakin sih." Andri melirik Nara, berharap ada satu ekspresi yang bisa dia tangkap untuk mempertebal harapan yang sudah Tiwuk tiupkan tempo hari.

"Oh...ya sudah kalo gitu." Andri melepas nafas panjang. Kecewa, perjalanan meraih hati Nara nampaknya masih di ujung dunia. Bahkan mungkin semomentum lebaran monyet.

"Dua hari lalu, Tiwuk ngomong ngelantur soal hubungan pertemanan kita berdua. Dia nggak ngomong aneh-aneh sama kamu kan?" Tanya Nara ketiga kali. Dia menggigit bibir bagian bawah, menyiapkan mental dengan apapun jawaban Andri. Pasti Tiwuk berbuat ulah, pikirnya. Seluruh saraf dalam tubuhnya menegang.

Biduk TerbelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang