12. Alasan sholat?

5.1K 547 29
                                    

Marhaban yaa Ramadhan. Selamat berpuasa bagi yang menjalankan. Gimana? Hari pertama ramadhan, masih ada yang khilaf lupa makan minum?

Part ini temanya rada-rada berbau religi, menyesuaikan timingnya pas Ramadhan.

***

Happy reading.

Cahaya matahari menyeruak masuk ruang apartemen, menembus jendela kaca--begitu korden disingkap. Semesta membagi kehangatan, menggelitik kelopak mata Pram untuk terbuka. Bujang lapuk itu mengerjap-ngerjap sejenak, sebelum mata terbuka sempurna. Lalu kepalanya menengok kanan kiri, atas bawah. Seperti ada sesuatu yang dicari. Akhirnya fokus penglihatan Pram berhenti pada sosok yang membelakangi dirinya. Orang itu tengah asyik menonton bola di layar LED selebar 32 inch. Potongan rambut ala captain kokpit pesawat tempur, yang nampak dari belakang, begitu familiar baginya. Penyebab rasa pening di kepala dan perih di pipi.

"Gue...dimana?"

"Kamu pikir, dimana?" Jawab lelaki itu tanpa menoleh barang sesenti pun. Pram bangkit dari pembaringan dengan suara keluhan sakit yang dilebih-lebihkan.

"Gue pikir di rumah sakit." Pram berjalan tertatih-tatih dengan tangan kanan terus memijit tengkuk sendiri. Akhirnya dia sampai di sofa tempat Lanang yang sedang fokus mengikuti pertandingan live klub sepak bola kesayangan. Pram menghempaskan diri disana. Tenggelam dalam sofa bersama sahabat terbaiknya--walau, bogem mentah sudah dia telan bulat-bulat. Pram tak menyerah mengalungkan selempang beludru yang bertuliskan "my besties" pada Lanang.

"Kebanyakan nonton sinetron." Cemooh Lanang.

"Lo nggak khawatir apa, kalo gue mampus? Bawa ke puskesmas kek. Panggilin bidan kek. Masih sakit, anjing. Aduh!" Pram meraba wajahnya sendiri, saat tanpa sengaja tangannya sampai di pipi sebelah kanan, rasa nyeri kembali menyetrum. Rupanya disana, pusat episentrum tinjuan Lanang.

"Emangnya kamu mau beranak, pake dipanggilin bidan segala."

"Sobat macam apa sih lo? Bisa-bisanya tonyor gue sekeras itu. Nggak sekalian aja, nusuk gue pake pisau? Bacokin pake celurit? Ceburin ke kolam isi aer mendidih, atau mandiin pake bensin. Tinggal nyalain korek, lemparin deh. Biar puas lo." Mendengar itu, Lanang meletakkan remote yang sejak tadi dipegang. Memutar badan, lalu menatap nyalang kedua mata Pram.

"Serius, kamu beneran mau?" Pram bergedik ngeri. Wajahnya mendadak pucat pasi. Dia belum pernah melihat Lanang semarah ini. Lanang yang selalu baik. Lanang yang hanya tersenyum saat Pram tanpa sengaja menjatuhkan hapenya dari lantai dua. Lanang yang hanya terbujur kaku, saat dia jujur mengakui telah merusakkan laptopnya. Lanang yang malah tertawa, ketika Pram tanpa sengaja memutuskan senar gitar kesayangannya.

"Bercanda Nang. Jangan masukin hati. Ya Tuhan, lo kenapa sih? Kayak orang kerasukan gini. Lagi laper ya? Belum makan? Tar lagi gue delivery orderin pizza ya? Atau McD? Atau lo mau rendang aja?" Pram mengelus-elus dada Lanang, namun lelaki itu hanya membuang muka. Jika Pram sudah membawa-bawa nama Tuhan, artinya dia sedang ketakutan.

"Nggak usah." Lanang kembali ke posisi duduk semula. Kembali meraih remote, menambah volume TV sampai lima angka.

"Lalu...selanjutnya gimana? Apa kita kasih dia duit aja, buat gugurin kandungan? Gue kenal dokter yang bersedia melakukan kuret tanpa harus ngasih alasan apa-apa kok." Lanang melotot. "Eh, maksud gue, GUE. Bukan kita. Pake duit gue. Ya, biar gue yang ngasih duit ke Loly."

"Gila," Lanang menekan tombol off pada remote. Seketika cahaya warna warni dari TV itu padam. Bukan karena tayangan bola sudah habis, tapi Lanang butuh suasana serius untuk meluruskan otak sahabatnya yang melenceng. "Kamu tahu lagi ngomongin apa? Nyawa! Janin! Anak, Pram! Anak! Dimana hati nuranimu? Kamu lahir dari batu? Ibumu juga perempuan! Bayangin apa yang beliau rasakan kalo sampe tahu kelakuan anaknya." Lanang setengah berteriak di kuping Pram. Lelaki berperut sedikit tambun itu seketika membayangkan nonton dangdutan di lapangan, berdiri tepat di depan sound system.

Biduk TerbelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang