Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir batin.
***
"Trus sekarang gimana?" Lanang mengacak rambutnya frustasi.
"Lo tenang aja. Gue akan pepet Loly terus biar otak gesreknya itu bisa lurus." Pram membuka pintu kulkas, menerawang sejenak seluruh isi lemari mungil itu. Deretan berbagai jenis cemilan di raknya membuat Pram galau memilih. Antara donat bertabur gula mint, brownies sisa tiga hari lalu, potekan pizza yang tinggal sebiji atau roti selai stroberi. Setelah menelaah, menimbang dan memutuskan, akhirnya Pram mengambil sebatang cokelat mente batangan yang tinggal separuh. Tapi dengan kurang sopannya, cokelat itu terjatuh. "Jancuk!"
"Apa?" Lanang mendelik.
"Bukan lo. Cokelat ini. Kurang ajar pake jatoh segala." Pram memungut cokelat di lantai, meniupnya sekali, lalu menjejalkan dalam mulut. Dia mendekati Lanang yang tengah berdiri, bersandar pada pagar pembatas balkon apartemennya. Menikmati pemandangan kota Semarang kala malam yang dipenuhi kerlap-kerlip lampu oleh beberapa bangunan dan sein mobil.
"Gimana nggak buncit tuh perut, cemilanmu ekstrem gini."
"Ekstrem apaan. Cokelat doang. Kalo ngemil cicak goreng atau tikus bakar, itu baru ekstrem." Lanang berdecak dan geleng-geleng. "Oya, setelah nuntut dikawinin, Loly ngomong apa lagi?"
"Dia ngancem, kalo sampe usia kehamilannya berusia tiga bulan, aku masih saja nolak tanggung jawab, dia akan melibatkan HRD untuk menyelesaikan masalah. Edan nggak tuh? Tamat riwayatku Pram!"
Lanang menepok jidat sendiri. Dia heran, kenapa perkara pelik dalam hidupnya, selalu seputar makhluk berjuluk perempuan. Sejak dulu, ketika masih gencar mencari perhatian dan bangga dilirik banyak gadis. Sampai sekarang, saat dia sudah tobat dan benar-benar menghindari jenis kontak apapun dengan perempuan. Tetap saja nasib buruk berteduh di bawah takdirnya."Njing tuh cewek. Dasar perek. Najis. Cuih." Pram meludah ke bawah, entah mendarat kemana. Amarah dengan cepat membakar dadanya. "Dia pikir kantor bokapnya. Seenak udel mau libatin orang HRD sama persoalan receh kayak gini. Semua yang otaknya waras juga tahu, kalo persoalan pribadi ya harus diselesaiin sendiri. Udah laknat, begok pula dia."
"Tapi kamu beneran udah bilang mau nikahin dia kan, Pram?" Kedua mata Lanang menyipit penuh selidik.
"Gila ya. Sejak kapan lo nggak percaya sama gue? Asal lo tahu ya Nang. Bahkan gue udah bilang mau susuin tuh bayik tiap malem. Gantiin popoknya, timang-timang, pukpuk bokongnya tiap mau bobok. Dia gue bebasin clubbing tiap hari, shopping, ngemall, serah deh mau apa. Tapi tetep aja, dia mau nikahnya sama lo!" Pram menuding hidung Lanang terang-terangan. "Gue udah serius beneran mau tobat, biar nggak hidup kacau yang seperti lo bilang. Biar mama gue bangga liat anaknya dari surga. Terus sekarang salah gue, kalo setelah semua janji manis yang gue tawarin, dia tetep milih lo? Taik bener kan hidup gue? Itu anak gue, dia malah cariin bapak lain. Dia pikir gue nggak becus apa, jadi bapak?" Nafas Pram memburu, wajahnya penuh kesal.
"Sorry. Sorry. Aku percaya kok. Tapi ya, kamu tahu lah. Aku nggak sanggup lagi buat mikirin yang lain." Lanang menghembus nafas berat. Pram tahu, masalah ini makin membuat beban yang ditanggung pundak Lanang makin berat. Masih sakit kehilangan anak dan isteri, sekarang malah disuruh menikahi perempuan yang ngaku-ngaku bunting padahal belum pernah dikawini.
"Gak usah dipikirin ya sob. Urusan perempuan kuntilanak itu, urusan gue." Pram menepuk bahu kiri Lanang dengan pelan. Ada sebuah janji kedamaian yang ditiupkan disana. Lanang tersenyum, menyentuh tangan Pram, dengan menepuknya sebagai balasan.
"Ya. Thanks."
"Oya. Lo mau pulang apa nginep sini?"
"Ngusir?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Biduk Terbelah
Romance(SELESAI) Lanang; "Aku tahu, dari sekian banyak penderitaan yang telah kamu alami selama kita bersama, memaafkanku adalah hal tersakit bagimu. Walau begitu, sampai kapanpun aku akan tetap memohon satu kesempatan lagi karena aku begitu mencintaimu" N...