Huwaaaa...pengikut cerita Biduk Terbelah, maafkan thor kalian yang sudah tua renta ini. Kemaren belum edit, udah pencet publish. Jadi ditarik lagi partnya. Sekarang publish beneran. Cekidot yess.
Happy reading.
"Jadi, dia perempuan yang..."
"Gue perawanin empat belas tahun lalu." Jawab Pram cepat, lalu menenggak minuman kaleng yang dipegang. Rasa manis di lidah berangsur pudar, berganti pahit pekat yang makin kuat. "Secara paksa." Dia menelan ludah, rasa nyeri menjalar di bilik jantung.
Lanang manggut-manggut. Menghisap rokok yang terselip diantara jari telunjuk dan tengah. Asapnya dihirup dalam-dalam melalui hidung, lalu dimuntahkan sekonyong-konyong oleh mulut, membentuk gumpalan-gumpalan putih yang meliuk di udara, sampai raib tak bersisa. Dia berimaji, andai penyesalan, dapat dilenyapkan semudah itu.
"Takdir memang manis, kita dipertemukan dengan orang yang kita cari bersamaan. Yah, walau dalam kondisi menyakitkan."
"Manis, kata lo? Takdir sontoloyo sialan! Disaat gue udah mau jadi bapak, baru nongol tuh cewek. Selama ini, kemana? Kampret. Tuhan maen-maen sama gue." Pram meremas kaleng minuman soda sampai penyok.
"Kamu yang bejat, kenapa bawa-bawa Tuhan?"
"Sahabat baik. Makasih udah ngingetin kalo gue bejat."
"Sama-sama." Jawab Lanang sinis. "Lagian kalo kamu ketemu dia sebelum kenal Loly, mau apa? Liat mukamu aja, dia teriak. Boro-boro mau maafin."
"Setidaknya gue bisa berjuang mati-matian buat dapetin maafnya. Kalo sekarang? Anak gue? Arggghhh...sialan." Pram berniat melempar kaleng penyok itu ke bawah, tapi meleset, karena terbentur pagar pembatas balkon apartemen. Melihat itu, dia mengerang kesal. "Lo lebih beruntung. Walau Nara sampai sekarang belum bisa maafin, tapi lo bisa leluasa berjuang. Nggak ada halangan. Nah gue? Ntar anak gue nangis guling-guling, dikira bapaknya selingkuh."
"Kamu lupa, sama cowok yang namanya si Mandri-mandri, itu? Dia penghalangku."
"Hellah. Kecoak doang, lo pikirin." Pram mengibaskan telapak tangan, menunjukkan betapa remeh orang yang mereka bahas sekarang. "Kalo boleh jujur. Bukan karena kita sohib. Juga bukan karena gue hombreng, jangan salah paham."
"Apa?"
"Fisik, jelas menang lo. Ganteng, gantengan lo. Macho, machoan lo. Kulit, bersihan lo. Dia item dekil gitu. Menang tinggi aja dia, dikit. Dan yang telak, lo masih suami sah Nara. Dia siapa? Kecoak lewat."
"Suatu saat, kalo kamu lihat anakmu lebih dekat dengan lelaki lain, kamu akan ngerti." Lanang menerawang langit, mengiba satu harapan, yang jatuh ibarat meteor. Karena saat ini, asa dalam dada telah kandas, tergerus oleh ingatan bagaimana putri kesayangan menolak dipeluk. Malah melihat takut bagai bertemu gendruwo. "Rasanya lebih sakit dari cemburu pada pasangan yang selingkuh, Pram."
"Sesakit itu?" Lanang mengangguk mantap. "Amit-amit deh kalo gitu."
Dua lelaki itu mendongak bersama-sama. Bergelut dengan pemikiran masing-masing. Terlalu banyak harapan yang mereka gantung di langit. Terlalu banyak doa yang mereka rapal dalam diam.
Begitu dahsyat karma menampar mereka berdua. Sampai Pram dan Lanang merasa menjadi lelaki ternelangsa dan paling mengenaskan di dunia.
Seperti malam ini, kegilaan yang mereka alami, mampu membuat kulit mati rasa. Jam setengah satu dini hari, duduk di lantai balkon apartemen tanpa alas, angin malam berhembus kencang, namun mereka memilih bertahan dengan celana boxer dan kaus kutang. Tak ada rasa dingin yang menggeliat dalam tubuh mereka.
"Lalu apa rencana lo selanjutnya?"
"Yang jelas, besok aku ngajuin resign ke HRD. Aku akan pindah ke Magelang." Lanang kembali menghisap rokok, walau tidak seluwes lelaki kebanyakan. Sesekali dia terbatuk, karena tidak lihai mengolah kepulan asap yang masuk ke dalam paru-paru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Biduk Terbelah
Romance(SELESAI) Lanang; "Aku tahu, dari sekian banyak penderitaan yang telah kamu alami selama kita bersama, memaafkanku adalah hal tersakit bagimu. Walau begitu, sampai kapanpun aku akan tetap memohon satu kesempatan lagi karena aku begitu mencintaimu" N...