32. Trauma

421 42 3
                                    

"Nang."

"Hemmm..."

"Lo pernah? Berada di titik kecewa berat, tapi tanpa sebab. Pengen marah, tapi nggak tahu sama siapa. Pengen nangis, tapi nggak keluar aer mata."

Pram menunggu jawaban Lanang beberapa detik. Dia sedang butuh dukungan sahabat untuk menghibur hati yang tengah gundah.

"Udah rapi nggak?" Pram menoleh ke arah Lanang, ternyata lelaki itu masih sibuk membenahi kerah kemeja flanelnya. Hari ini Lanang nampak beda, membuang jauh kaos oblong buluk dan celana denim belel yang biasa dipakai.

Setelah mimpi memeluk Nayla semalam, tiba-tiba punya ide menjemput sekolah hari ini lalu mengajak  jalan-jalan kemanapun yang diminta. Membeli apapun yang ditunjuk. Tapi saat hampir berangkat, Pram malah ikut. Maka disanalah mereka sekarang, diluar gerbang sekolah Nayla. Diatas selokan air hitam dan bekas bungkus jas jus berserakan. Jangan ditanya bagaimana baunya. Pram sejak tadi berusaha menutup hidung dan meminta pindah. Tapi Lanang berkilah, itu tempat paling strategis untuk menyambut Nayla. Soal bau busuk itu tak masalah, bagi hidungnya, sedap-sedap saja.

"Sialan. Lo denger gue ngomong, nggak sih?"

"Denger. Denger. Kebelet berak, tapi nggak keluar. Kebelet pipis, tapi nggak mancur, ya kan?"

"Anjing!" Pram menggeplak kepala Lanang sampai lelaki itu meringis kesakitan. "Gue lagi curhat. Ngomong serius, malah bawa-bawa taik!"

"Itu perumpamaan. Mau marah tapi nggak tau sama siapa. Sama aja kayak kebelet berak tapi nggak keluar. Tolol!"

"Serah lo deh, Nyet. Mau ngasih perumpamaan apa aja." Kesal Pram. 

"Aku pernah ngerasain kayak gitu. Emang kenapa? "

"Ya gue minta solusinya, setan!"

"Solusinya sholat. Mendekat sama Tuhan. Berdoa. Minta petunjuk. Jangan malah ngebir." Pram tersindir.

"Kalo itu gue tahu."

"Udah tau, nanya!"

"Solusi laen. Yang lebih masuk akal buat seorang Pram." 

"Ambil tali, gantungin kepala atau nyebur laut. Kendat!"

"Bangke lo!" Kesal Pram sampai di pucuk ubun-ubun. Kadang dia heran dengan sosok Lanang sekarang. Saat diajak ngobrol serius, malah ngebanyol. Diajak bercanda, malah naik darah. Sahabatnya itu memang sudah jauh berubah. Mungkin dia sudah masuk dalam area bapak-bapak, jadi takkan nyambung dengan generasi jomblo milenial sepertinya.

Tanpa sadar bel sekolah telah berbunyi. Anak-anak berseragam pramuka keluar kelas, berhambur ke halaman. Satu per satu mereka keluar gerbang, berlari kecil menuju orang tua masing-masing, yang sudah menunggu sejak tadi. 

Kedua mata Lanang menelisik teliti bocah-bocah itu. Sampai akhirnya seorang putri cantik telah mencuri fokus pandangan. Nayla berlari ke arahnya dengan senyum lebar. Rambutnya tergerai indah berkibar-kibar bak bidadari kecil turun dari kayangan.

"Papa..." Lanang bagai dihujani lembar-lembar dolar. Dia sumringah lebar. Mimpi apa dia semalam, panggilan papa sudah kembali terdengar. Suara kecil lucu dan menggemaskan, yang sekian lama dirindukan. Sangat lama.

Lanang berlutut, membentang tangan lebar-lebar. Bersiap menerima dekapan hangat dari tubuh kecil, yang aromanya membuat kecanduan. Aroma tubuh yang membuatnya sakau tak karuan tiap merindu. Takkan nyenyak tidur, tak selera makan, hidup segan, matipun enggan. Ah, segila itulah dia mencintai anak ini.

"Mama..." Lanang mengerutkan dahi. Apakah telinganya tidak salah dengar? Atau saking senangnya, Nayla salah panggil. Sekian detik berlalu, tubuh kecil itu tak jua sampai ke dalam dekapan.

Biduk TerbelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang