27. Sapu Terbang

4.5K 544 72
                                    

Pram berjalan beriringan dengan Anton, memasuki gedung olahraga.
Ruang pertama yang mereka temui adalah arena badminton. Dia melihat ke arah orang yang sedang mengambil shuttlecock nyangkut di jaring-jaring net. Tapi bukan pada kok berbulu angsa atau raket berbahan karbon grafit, perhatiannya tertuju. Namun pada alas kaki lelaki itu.

"Sialan, itu sepatu Nike keluaran terbaru. Mau olahraga apa ajang pamer sih."  Gerutu Pram dalam hati.

Pram mengekor langkah Anton untuk berjalan memutari ruangan itu menuju ruang selanjutnya, yang jauh lebih luas, dimana rumput sintetis hijau tergelar apik. Ruangan itu dibagi jadi dua bagian, dengan tembok jaring sebagai pembatas.

"Ide siapa sih, malam-malam gini main futsal?" Protes Pram. Dia akhirnya menemukan bangku panjang untuk meletakkan tas berisi sepatu futsal, botol air mineral, handuk kecil dan baju ganti. Pram mengangkat satu kaki di bangku, untuk dipasangi kaos kaki tebal dan sneakers.

"Temen-temen kantor Cungkring pengen futsal, tapi kurang orang. Makanya ngajak gua. Berhubung lu bilang pengen olahraga, akhirnya gua iyain." Anton melakukan hal yang sama--meletakkan tas, mengeluarkan sepatu, lalu mengganti sandal dengan sepatu yang dibawa.

"Jadi mereka temen-temen Cungkring?" Pram menunujuk orang-orang yang tengah main di tengah lapangan.

"Iya. Teman sekantor dia."

"Oh pantes."

"Pantes napa emang?"

"Liat tuh. Bapak-bapak berwajah culun." Mulut Pram mulai nyinyir, mirip ibu-ibu yang hobi bergosip tiap pagi, saat belanja sayur. "Gue jamin. Hidup mereka hambar. Cuma tahu pahitnya ampas kopi. Belum pernah mencium wanginya aroma wiski."

"Sotoy lu." Anton mengikat tali sepatu  terakhir.

"Ember. Nggak asik banget gaul sama orang katro kayak gitu. Badminton, futsal, tenis, voli, arena yang rawan banget dihuni oleh mereka. Makanya gue bilang, kalo mau olahraga, ke tempat billiard aja. Hindari tempat-tempat gini."

"Kayak lo kagak tahu si Cungkring. Dia kan lurus banget orangnya. Mana mau diajak ke tempat miring dikit."

"Miring gimana? Mau billiard doang. Otak lo mesum ah."

"Otak lo tuh yang mesum. Bilang aja sekalian cuci mata lihat cewek-cewek bohai."

"Cuman lihat doang. Daripada disini, pemandangan suram. Bulu kaki bertebaran."

"Tetep zinah mata, itu namanya Pram." Tanpa mereka sadari, tiba-tiba Fadli datang dari arah samping.

"Diem bacot lo, Ngkring. Kalo mau khutbah di masjid sono."

"Inget anak Pram. Istighfar."

"Astaghfirullah..." Begitu mengingat calon anak di perut Loly, Pram istighfar sambil mengelus dada. "Eh, sialan. Ngapa gue jadi nurut sih?"

"Astaghfirullah Pram. Istighfar sambil ngumpat itu dosa."

"Suka-suka lo aja deh Ngkring." Fadli berdecak.

"Oya Ngkring. Gimana kabar Lanang di Jogja. Tuh anak bangsat beneran. Nggak bisa dihubungin sama sekali. Di telpon nggak bisa, di BBM dan whatsapp juga nggak masuk. Emang dia hidup di dasar laut, apa. Kagak ada sinyal."

"Kata adek sepupuku sih, semua urusan lancar. Hape Lanang katanya rusak, habis jatoh pas di bengkel."

"Ngapain dia ke bengkel?"

"Loh, kalian belum tahu?" Fadli kali ini mirip ratu biang gosip. Melempar umpan agar ikan kepo dan mendekat. Dia memilih tempat strategis untuk duduk. Menyempil di tengah-tengah antara Anton dan Pram, yang akhirnya membuat Pram harus rela menggeser bokong ke ujung bangku.

Biduk TerbelahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang